English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translete Menu
Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info

-Total Readers-

Don't Be a Silent Readers, Put Your Comment Here :)

Senin, 02 Januari 2012

The Seven Light Chapter 8 (Complete)

.
.
.
Disclaimer:
Naruto dengan karakter-karakternya milik Tuan Masashi Kishimoto
.
.
The Seven Light milik saya aka Tania Namikaze
(AU, sedikit OOC, mungkin ada typo, dll)
.
.
Summary:
Setelah setahun menghilang, The Seven Light akhirnya kembali. Organisasi yang berisikan tujuh orang berbakat dengan satu pemimpin itu mulai melakukan pembunuhan yang tidak jelas tujuannya. Apa yang akan terjadi pada organisasi ini jika anggotanya mulai berpikiran untuk melenyapkan organisasi tersebut?
.
.
.
Chapter Sebelumnya:
.
.
.
"Kalau begitu sudah diputuskan bahwa kami tidak akan menangkap anggota The Seven Light. Sebaiknya sekarang kita mulai untuk membicarakan siapa sebenarnya ketua The Seven Light," ucap Kiba.
.
'Ya, aku adalah putri tunggal keluarga Yamanaka. Sudah seharusnya aku pandai dalam hal ini. Ini kulakukan agar aku bisa membalas dendam pada orang yang telah membunuh saudara-saudaraku di Iwa dua tahun yang lalu. Aku pasti akan menemukanmu, ketua The Seven Light,' batinnya seraya melepas anak panah. Dan anak panah tersebut lagi-lagi tepat mengenai sasaran.
.
"Asal kalian berdua tahu, sebenarnya tujuanku bergabung kembali dengan organisasi itu adalah untuk menghancurkannya. Aku melakukannya demi membantu kakakku," sahutnya.
"Baguslah kalau begitu. Sepertinya Itachi tidak perlu mengkhawatirkanmu," ujar Yahiko.
.
Ia pun menggeleng, "tidak Naruto. Kau tidak salah. Se..sebenarnya aku juga menyukaimu, hanya saja aku terlalu takut u..untuk mengatakannya," aku Hinata dengan wajahnya yang semakin memerah.
"Hi..Hinata," Naruto pun segera memeluk Hinata. "Te..terimakasih, kalau begitu mulai sekarang kau menjadi kekasihku. Kau mau, kan?"
Naruto dapat merasakan kalau Hinata mengangguk di dalam pelukannya.
.
"Kalian tahu, hanya dengan membaca pesan ini aku sudah tahu siapa sebenarnya ketua The Seven Light," sahut Naruto dan detik itu juga hujan pun mulai turun di luar sana yang disertai dengan petir menyambar.
.
.
.
Chapter 8
"Kalian tahu, hanya dengan membaca pesan ini aku sudah tahu siapa sebenarnya ketua The Seven Light,"
"Naruto, kau jangan bercanda. Cepat kemarikan handphonenya," Itachi segera mengambil handphone Aoba dari tangan Naruto.
Dia mulai membaca pesan yang tertampil di layar ponsel Aoba.
"Cih! Aku pikir dalangnya siapa, ternyata hanya dia. Seekor ular yang sedang berusaha menggigiti kita dengan giginya yang tak berbisa. Sebuah usaha yang sia-sia karena sebentar lagi dialah yang akan tertangkap oleh kita," nampak seulas senyum tergambar di wajah milik Komandan kepolisian tersebut.
"Kau punya pikiran yang sama denganku, Kak Itachi," ucap Naruto sambil menepuk bahu Itachi.
"Hei, kalian itu membicarakan apa? Jangan buat kami seakan-akan tidak ada di sini,"
"Kalau begitu, coba saja kau baca pesan ini, Neji," Itachi segera memberikan handphone tersebut kepada Neji.
Mata lavender Neji segera dapat menangkap tulisan yang ada di layar handphone tersebut.
Aoba, kau di mana? Tuan Orochimaru mencarimu. Cepat kau kembali, jangan membuat dia marah.
.
.
From: Kabuto Y.
Neji pun segera membaca pesan tersebut agar semua orang yang ada di sana dapat mendengarnya.
"Hah? Mereka itu bodoh atau apa sih?" gumam Ino.
"Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga," gumam Sasuke.
"Dan tupai itu jatuh ke kubangan, hahaha.." Kiba menertawai perkataannya sendiri.
"Itu tidak lucu, Kiba. Sekarang sebaiknya kita pikirkan dulu apa yang akan kita lakukan pada Aoba," ujar Shikamaru sambil melihat Aoba yang ada di atas sofa.
"Biar aku yang membawanya ke kantor polisi," Hana tiba-tiba berbicara.
"Kau akan membawanya sendiri?"
"Aku akan bersama Kiba,"
"Mm..baiklah. Kau berangkat saja sekarang,"
"Siap, Komandan," Hana pun segera pergi ke kantor polisi bersama Kiba dan tentu saja bersama Aoba yang mereka letakkan di jok belakang mobil Hana.
"Sekarang apa yang akan kita lakukan?" tanya Shizune.
"Kita harus mencari sinyal handphone milik Kabuto agar kita tahu mereka ada di mana, lalu kita menyusun strategi bagaimana cara kita untuk menangkap mereka," sahut Naruto sambil mengaktifkan laptopnya yang baru saja dia ambil dari kamarnya. Sebuah laptop berwarna oranye dengan tulisan katakana Naruto di sudut kanan atasnya.
"Aku masih tidak menyangka kalau dalang dari semua ini adalah Orochimaru. Dia itu buronan yang sampai sekarang belum berhasil kami tangkap," ujar Neji tiba-tiba.
"Mungkin kali ini, kita bisa menangkapnya. Kepolisian Konoha tidak mungkin bisa menangkapnya tanpa bantuan kami," ucap Sasuke percaya diri.
"Kau itu terlalu percaya diri, Sasuke,"
"Sudah, sudah, hentikan omongan kalian. Lebih baik kalian membantuku," ucap Naruto seraya menyerahkan laptopnya pada Sasuke.
"Baik. Selagi para lelaki mengerjakan tugasnya. Anak-anak gadis, ayo ikut aku. Kita buat minuman dan cemilan untuk semuanya," ajak ratu di rumah tersebut, Kushina Namikaze.
.
(o^o)
.
Jam besar di pusat kota Konoha sudah menunjukkan jam setengah tujuh pagi. Matahari belum menampakkan wujudnya kali ini, sepertinya sedang bersiap-siap untuk bangun dari tidurnya. Penduduk kota pun baru sedikit yang bangun karena sekarang hari Minggu. Mungkin yang baru bangun hanyalah penduduk yang benar-benar rajin atau hanya sedang ingin bangun pagi.
Di sebuah Mansion di Konoha terlihat ada seorang gadis yang sedang berdiri di balkon yang ada di lantai dua mansion tersebut. Gadis dengan rambut indigo dan mata abu-abu.
Sejak tadi dia memejamkan matanya. Berusaha merasakan hembusan angin di pagi itu. Angin pagi itu memang cukup dingin karena hujan baru saja berhenti. Sejak semalam hujan besar telah mengguyur Konoha dan baru setengah jam yang lalu hujan berhenti. Beberapa kumpulan awan mendung masih menggantung di atas sana menunggu sang mentari agar ia naik ke atas.
"Cukup dingin tapi menyegarkan," guman gadis tersebut seraya membuka matanya.
"Hinata, sedang apa kau di sini? Kupikir kau bersama Ino?" tiba-tiba saja ada orang yang menyapanya.
"Ah, Na..Naruto. Kau membuatku kaget saja. Kau sendiri kenapa ke sini?" bukannya menjawab Hinata malah mengajukan pertanyaan kepada Naruto.
"Aku hanya tidak bisa tidur. Aku terlalu senang harii ini. Rasa kantukku hilang saat memikirkan bahwa sebentar lagi kita bisa memangkapnya," sahut Naruto seraya berjalan dan berdiri di samping Hinata. "Lalu, kau sedang apa di sini?" lanjut Naruto.
"Hanya menunggu matahari terbit. Apa tidak sebaiknya kau beristirahat, Naruto? Kau bekerja sampai pagi dengan yang lainnya," ucap Hinata sambil menatap Naruto.
"Aku juga ingin seperti itu. Tapi rasa kantukku hilang saat mengingat dia. Dia yang sudah membuat kita menjadi seperti ini. Aku tidak akan membiarkannya hidup," sahut Naruto sambil mengepalkan tangannya dan terlihat jelas dari raut wajahnya kalau dia sedang menahan amarah yang sangat besar.
"Naruto, tenanglah," ujar Hinata sambil meraih tangan Naruto dan menggenggamnya dengan tangannya sendiri. "Aku akan selalu bersamamu," lanjut Hinata sambil tersenyum lembut pada Naruto.
"Terimakasih, Hinata," balas Naruto dengan senyum di wajahnya. Sepertinya Hinata dapat menghilangkan amarah Naruto.
"Hinata, tanganmu dingin. Sepertinya kau terlalu lama berdiri di luar," ujar Naruto khawatir sambil menggenggam tangan Hinata dengan kedua tangannya, posisi tangan mereka berbalik sekarang.
"Aku tidak apa-apa Na..Naruto," sanggah Hinata. Tapi, sangat kentara dari perkataannya bahwa ia kedinginan.
"Kau bohong, Hinata," dan dalam sekejap Naruto membawa Hinata ke dalam pelukannya berusaha memberikan kehangatan kepada Hinata.
"Na..Naruto," Hinata hanya dapat terkejut dengan gerakan Naruto yang tiba-tiba. Dan yang bisa ia lakukan hanya membalas pelukan Naruto.
"Bagaimana? Sudah hangat?"
"Yah. Terimakasih, Naruto,"
Mereka terus berada dalam posisi seperti itu sampai sang mentari menampakkan sinarnya yang masih redup.
Tanpa mereka berdua sadari, ada seseorang yang sedang memperhatikan mereka di dekat pintu. Orang tersebut hanya dapat tersenyum melihatnya. Tiba-tiba orang tersebut pun berbicara.
"Sampai kapan kalian akan seperti itu? Di bawah, sarapannya sudah siap. Ayo, cepat turun," ucap orang tersebut yang ternyata adalah Kushina.
Spontan, Naruto dan Hinata melepas pelukannya. Dan kali ini wajah mereka benar-benar merah karena menahan malu.
"Ma..mama, apa yang sedang Mama lakukan di sini?" Naruto memandang Kushina dengan wajah menahan malu.
"Tadi kan Mama sudah bilang, sarapannya sudah selesai. Ayo, cepat turun Naruto, Hinata," sahut Kushina dengan nada keibuannya dan dia pun menghilang dari pandangan Naruto dan Hinata.
Tapi, tiba-tiba dia pun kembali. "Oh ya, Naruto. Kalau Hinata yang menjadi menantu Mama, Mama pasti akan menyetujuinya," ujar Kushina sambil memasang sebuah cengiran di wajahnya. Dan perkataan Kushina semakin membuat wajah dua orang remaja itu semakin memerah.
"Ma..Mama, apa-apaan sih?"
"Sudah, ayo cepat turun," dan kali ini Kushina benar-benar pergi dari sana.
"Hi..Hinata, jangan dengarkan yang dikatakan Mamaku. Dia hanya bercanda, a..ayo cepat turun," ajak Naruto sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Tidak apa-a..pa, Naruto. Lagipula aku senang," ujar Hinata sambil menatap Naruto.
"Hinata,"
Mereka berdua pun saling menatap satu sama lain. Tanpa pemberitahuan apapun, tiba-tiba Naruto mengangkat dagu Hinata dan dia pun sedikit merendahkan kepalanya, berusaha mempersempit jarak di antara mereka berdua. Kini hidung mereka pun saling bersentuhan dan selanjutnya Hinata dan Naruto dapat merasakan kelembutan bibir masing-masing. Cukup lama mereka berdua berada dalam ciuman penuh kehangatan dan kasih tersebut. Karena keterbutuhan oksigen, mereka pun segera melepaskan ciuman mereka.
"Hinata, maaf,"
"Kenapa minta maaf, ayo cepat turun," ucap Hinata seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Mereka berdua pun segera turun dan menuju meja makan yang ada di rumah itu. Nampak meja makan tersebut sudah penuh dengan orang. Hanya tersisa dua kursi kosong di sana.
"Wah, pasangan kita turun juga," goda Ino. Sepertinya Kushina sudah menceritakan semua hal yang dilihatnya kepada semua orang.
"Naruto, kau harus menjaga adikku dengan baik. Jika kau sampai melukainya, maka akulah yang akan membunuhmu,"
"Kau tenang saja,"
.
(o^o)
.
"Selamat pagi, pemirsa. Kembali lagi dengan saya, Sasame Puma sebagai pembawa acara NHK News," terlihat televisi besar di pusat Kota Konoha sedang menampilkan sebuah acara berita.
"Pagi kali ini, saya akan membawakan berita yang cukup mengejutkan bagi kita semua. Janji-janji yang selama ini diutarakan oleh kepolisian Konoha akhirnya terbukti sudah,"
"Kemarin malam sekitar pukul sepuluh malam, kepolisian Konoha berhasil menangkap buronan yang selama ini dicari-cari yaitu Orochimaru. Ia ternyata juga merupakan dalang dari organisasi The Seven Light," layar televisi pun menampilkan foto Orochimaru.
"Polisi berhasil menemukannya dengan dua anak buahnya yang bernama Kabuto dan Aoba di sebuah rumah yang terdapat di dekat perbatasan Kota Konoha dan Suna,"
"Dia ditemukan dalam keadaan mabuk dan itu memudahkan polisi untuk menangkapnya. Untuk menangkapnya para polisi dibantu oleh beberapa anggota FBI," ucap penyiar tersebut sembari membalik naskah berita yang ada di atas mejanya.
"Saat ditanya siapa anggota The Seven Light. Komandan kepolisian, Itachi Uchiha hanya menjawab bahwa 'mereka telah menjadi pelangi di atas sana' disertai dengan tawaan,"
"Yah, walaupun mereka tetap menjadi rahasia sampai sekarang. Tapi kita harus bersyukur karena keadaan Kota Konoha sekarang sudah tenang tanpa perlu meresahkan organisasi dengan nama The Seven Light tersebut," ujar pembawa berita tersebut mengakhir berita pertamanya.
"Berita selanjutnya tentang kunjungan kepala Negara Hi ke Konoha,"
"Kau lihat Hinata, kita berhasil menangkapnya. Akhirnya pelangi yang indah itu berakhir seperti ini,"
"Mungkin sudah takdirnya. Lagipula ada sesuatu yang lebih indah dan lebih lebat daripada pelangi. Kau tahu apa, Naruto?"
"Mm, apa?"
"Cahaya matahari. Pelangi tidak akan ada jika tidak ada cahaya matahari. Itu salah satu bukti kalau cahaya matahari lebih hebat daripada pelangi. Pelangi itu memang indah tapi belum tentu di ketujuh warna itu terdapat keindahan," sahut Hinata.
"Kata-katamu ada benarnya juga,"
"Dan kau tahu, matahari dalam hidupku itu hanyalah kau, Naruto,"
.
(o^o)
.
Bandara Konoha terlihat cukup ramai hari ini.
"Naruto, berjanjilah kau harus cepat kembali,"
"Ya, aku pasti akan cepat kembali. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai anggota FBI. Karena umurku sudah menginjak dua puluh tahun, aku harus pergi ke Uzushio dan menjalankan tugas di sana. Kau jaga dirimu baik-baik ya, Hinata,"
"Ya, dan cintaku hanya untukmu seorang, Naruto,"
"Aku juga Hinata, aku akan menjaga cinta kita baik-baik," balas naruto. Kemudian dia merogoh saku kemejanya. "Oh ya, aku ingin memberikanmu sesuatu,"
"Mm..apa?"
"Ini," ujar Naruto sambil memperlihatkan sebuah kalung perak dengan liontin huruf 'N'.
"Kalung?"
"Ya, ini untukmu," Naruto segera mengalungkan kalung tersebut di leher Hinata.
"Terimakasih, Naruto," Hinata memandangi kalung tersebut. "Oh ya, arti huruf 'N' ini apa?"
"N itu singkatan dari Naruto. Itu artinya kau hanya milik Naruto seorang," sahut Naruto. "Aku juga memakai kalung tapi dengan liontin huruf 'H' yang artinya aku hanya milik Hinata seorang," tambah Naruto.
"Sekali lagi, terimakasih Naruto. Aku sangat senang,"
"Oh ya, setelah tugas ini selesai. Aku akan melamarmu,"
"Na..Naruto," Hinata pun segera memeluk Naruto.
Cukup lama mereka berdua berada dalam posisi seperti itu.
"Hinata, sudah saatnya aku berangkat. Jaga dirimu baik-baik ya," ucap Naruto dan sebelum pergi dia menyempatkan diri untuk mencium kening Hinata.
.
(o^o)
.
"Naruto Namikaze, apa kau bersedia menerima Hinata Hyuuga sebagai istrimu dalam suka maupun duka, miskin maupun kaya?"
"Ya, aku bersedia," jawab Naruto mantap. Kali ini dia terlihat mengenakan setelan jas putih-putih.
"Hinata Hyuuga, apa kau bersedia menerima Naruto Namikaze sebagai suamimu dalam suka maupun duka, miskin maupun kaya?"
"Ya, aku bersedia," Hinata menjawab dengan mantap. Dia kali ini mengenakan gaun berwarna putih yang tidak menutupi bahunya. Rambutnya digelung di atas yang hanya menyisakan poninya untuk membingkai wajahnya yang cantik.
"Sekarang kalian telah sah menjadi suami istri. Kalian boleh mencium pasangan kalian masing-masing,"
Naruto dan Hinata pun saling mendekatkan wajah mereka dan mereka pun berciuman. Ciuman yang penuh kasih sayang di depan altar yang telah mengikat janji suci mereka, janji untuk hidup bersama selama-lamanya. Tidak ada lagi kata 'aku' dan 'kau', yang ada hanya kata 'kita'.
.
(o^o)
.
"Kapan hujannya berhenti sih? Aku kan ingin cepat-cepat pergi ke taman sama Ayah dan Ibu," gerutu seorang anak lelaki berumur lima tahun sambil memandangi hujan dari jendela kamarnya. Wajahnya terus saja ditekuk karena hujan yang tidak kunjung berhenti. Sudah sekitar setengah jam dia menunggu di kamarnya agar langit di atas sana berhenti menangis.
"Hei, langit. Apa kau sedang bersedih? Sehingga kau menangis terus? Kata Ibu, tidak baik kalau kita bersedih terus. Karena itu, kau sebaiknya berhenti menangis agar aku tidak bersedih seperti dirimu," ucapnya polos. Dia terus saja memandangi langit mendung di luar sana dengan bola mata birunya.
"Raito, cepat turun. Kita sarapan dulu," tiba-tiba terdengar suara seorang ibu dari lantai satu.
"Iya, Bu," sahutnya. Dia pun mulai berjalan turun dengan malas-malasan, salah satu sifat Ayahnya yang menurun kepada dirinya.
Sedangkan di bawah, terlihat Ayah dan Ibunya sudah menungu di depan tangga.
"Kau tahu, Hinata. Caramu memanggil Raito mengingatkanku kepada Mama," ucap sang Ayah sambil merangkul pinggang sang istri dari samping.
"Benarkah?"
"Hanya saja sedikit berbeda. Kau memanggil Raito dengan lembut sedangkan Mama selalu memanggilku dengan teriakan yang bisa-bisa membuat kaca rumah pecah," sahut sang suami disertai dengan tawa.
"Kau jangan begitu, Naruto,"
"Ya ampun, pagi-pagi Ayah dan Ibu sudah bermesra-mesraan. Benar-benar tak patut ditiru," ucap sang anak tiba-tiba sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Rupanya tanpa Naruto dan Hinata sadari, Raito sudah turun dari kamarnya.
"Dasar anak kecil, kau itu tidak tahu apa-apa. Mau Ayah jewer," ucap Naruto sambil mendekati Raito sedangkan Raito hanya memejamkan matanya. Saat tangan Naruto sudah mendekati telinga Raito tiba-tiba saja tangan itu berubah arah ke rambut Raito.
"Sudah, sekarang cepat makan, Ibu membuat sup kesukaanmu," lanjut Naruto sambil mengacak-ngacak rambut indigo anaknya.
"Iya, iya,"
Mereka segera pergi ke meja makan. Naruto duduk di kursi utama, Hinata duduk di sebelah kanan Naruto dan Raito duduk di sebelah kiri Naruto.
"Raito, kenapa sejak tadi cemberut terus?" Hinata merasa aneh melihat anaknya yang biasanya terlihat periang.
"Cuma malas aja karena dari tadi hujannya gak mau berhenti, padahal kan kita mau ke taman. Ini kan hari Minggu," sahutnya sambil mengerucutkan bibirnya.
"Raito, kau tahu kenapa hujannya tidak mau berhenti?" tiba-tiba Naruto berbicara seraya menyuapkan sesendok sup ke mulutnya sendiri.
"Memangnya kenapa, Yah?"
"Karena Raito tidak mau makan wortel, kasihan kan Ibu yang sudah membuatkanmu sup tapi Raito tidak menghabiskan semuanya,"
Raito tidak percaya dengan ucapan Ayahnya. Dia kali ini memalingkan wajahnya ke arah Ibunya, meminta kepastian tentang ucapan Ayahnya barusan.
Hinata hanya mengangguk melihat ekspresi Raito dan hal itu membuat Raito mau tidak mau mempercayai ucapan Ayahnya. Sekarang dia sedang memperhatikan semangkuk sup yang ada di hadapannya. Isi sup itu sudah hampir habis, yang tersisa hanya beberapa potong wortel yang mengambang di atas air sup.
Perlahan dia mulai menyendok satu potong wortel ke mulutnya. Mengunyahnya dengan sangat lambat. Merasakan rasa manis dan rasa pahit wortel yang mulai menyebar di dalam mulutnya.
"Bagaimana?"
"Mm..lumayan, Yah,"
"Coba lihat keluar, Raito. Hujannya sudah mulai berhenti," ucap Hinata dengan senyum menghiasi wajahnya.
"Benarkah?" Raito pun menoleh ke jendela yang ada di belakangnya. "Oh ya, benar. Kalau begitu aku harus menghabiskan wortelnya," lanjutnya sambil menyuapi satu sendok wortel ke mulutnya.
.
(o^o)
.
Pagi ini di Konoha, hujan baru saja berhenti. Awan mendung masih menggantung di atas sana. Matahari pun masih enggan untuk keluar dari persembunyiannya. Sepertinya dia masih ingin berlama-lama untuk diam di balik sekumpulan awan yang mungkin sebentar lagi akan pergi.
Di jalanan, terlihat beberapa orang sudah memulai aktivitasnya yang sempat tertunda karena hujan. Tapi, tidak sedikit dari mereka yang masih bersembunyi di selimut hangat mereka. Bukan hanya karena sekarang hari Minggu, tapi memang cuaca hari ini cukup dingin sehingga membuat mereka nyaman di dalam selimut. Tapi, tidak semua orang di Konoha seperti itu. Beberapa di antaranya sudah mulai beraktivitas walaupun mereka harus mengenakan jaket sebagai pelindung tubuh mereka dari kedinginan. Benar-benar keadaan sebuah kota.
"Raito, berhenti berloncat-loncat, nanti kau jatuh. Jalanan cukup licin," ucap Hinata khawatir melihat tingkah anaknya.
"Sudah Hinata, biar aku yang urus," Naruto pun segera berjalan menuju anaknya dan segera meraih tangan kanan anaknya. "Hup! Tertangkap. Sekarang Raito tidak bisa lari lagi,"
"Ya, Ayaah.."
Tiba-tiba saja, Hinata meraih tangan kiri Raito. Sekarang kedua tangan Raito sudah benar-benar terkunci. Di sebelah kanan digenggam oleh Ayahnya. Di sebelah kiri digenggam oleh Ibunya.
Hari ini, mereka bertiga memang berniat untuk pergi ke taman. Sudah lama mereka tidak pergi ke taman seperti dulu semenjak Naruto sibuk dengan pekerjaannya. Sama seperti penduduk yang lainnya, mereka nampak mengenakan jaket. Naruto dengan jaket putihnya, Hinata dengan jaket ungunya sedangkan Raito mengenakan jaket berwarna birunya yang sedikit kebesaran.
Berkat insiden kunci-mengunci yang barusan dilakukan oleh Naruto dan Hinata, kali ini mereka bertiga berjalan beriringan. Sesekali mereka berbicara dan bercanda dalam perjalanan. Benar-benar sebuah keluarga yang harmonis. Beberapa di antara tetangga mereka terlihat menyapa mereka dan mereka bertiga selalu menyapa balik orang yang menyapa mereka. Dan Raitolah yang terlihat paling semangat.
"Yai! Sampai," teriak Raito setelah mereka sampai di taman. Dia dengan cepat melepaskan pegangan tangan kedua orang tuanya dan segera berlari menuju arena permainan yang ada di taman tersebut.
"Eh, Raito," Hinata hampir terjatuh karena Raito menarik tangannya terlalu keras.
"Hi..Hinata, kau tidak apa-apa?" Naruto berhasil menahan Hinata sebelum ia terjatuh.
"Iya, tidak apa-apa. Terimakasih, Naruto,"
"Hh..anak itu, dia terlalu bersemangat," gerutu Naruto sambil melihat Raito yang kini tengah asyik dengan perosotan yang ada di taman tersebut.
"Iya, benar-benar mirip denganmu kan, Naruto?" ucap Hinata sembari tersenyum.
"Hah, apanya yang mirip," sanggah Naruto sambil memalingkan wajahnya. Sebenarnya dia memalingkan wajahnya karena dia tidak ingin Hinata melihat wajahnya yang kini memerah gara-gara senyuman Hinata.
"Naruto, ayo kita cari tempat duduk," ucap Hinata sambil berjalan ke sebuah bangku yang ada di bawah pohon Tsubaki. Sedangkan Naruto hanya mengikuti langkah istrinya.
Lama mereka hanya diam terduduk di bangku tersebut. Entah mengapa, mereka sulit sekali untuk mengeluarkan suara yang menyebabkan keheningan menyergap mereka berdua.
"Hinata, kau ingat sesuatu tentang tempat ini?" ucapan Naruto berhasil memecah keheningan di antara mereka berdua.
"Tentu ingat. Mulai saat itulah kita bersama. Aku tidak akan pernah melupakannya," sahut Hinata sambil mendongak melihat pohon Tsubaki yang ada di atasnya.
"Mulai malam itu sampai sekarang kita terus bersama. Dan kita akan terus bersama selama-lamanya," Naruto menggenggam tangan Hinata dan mereka saling menatap.
"Ya, kita akan terus bersama selama-lamanya,"
"DAR!" tiba-tiba saja Raito datang dan mengejutkan orang tuanya.
"Raito! Kau jangan begitu, bikin Ibu kaget aja," Raito segera duduk di antara Naruto dan Hinata.
"Tadi Ayah dan Ibu mau ngapain sih? Saling pandang-pandangan kayak gitu?" tanya Raito dengan wajah polosnya.
"Tadi..mm..tadi..cuma.."
"Lihat, Raito. Ada pelangi," ucap Hinata yang berhasil mengalihkan perhatian Raito.
"Wah..indah. Ketujuh warna itu kalau disatukan memang indah ya," ucap Raito kagum.
"Ketujuh warna itu selalu muncul setelah hujan selesai. Mereka indah, bukan?"
"Memang indah, Ayah. Tapi, ada yang lebih indah dan lebih hebat daripada pelangi,"
"Apa?"
"Cahaya matahari. Pelangi tidak akan ada jika tidak ada cahaya matahari. Itu salah satu bukti kalau cahaya matahari lebih hebat daripada pelangi. Pelangi itu memang indah tapi belum tentu di ketujuh warna itu terdapat keindahan,"
"Kenapa bisa sama?"
"Hah? Sama? Apanya yang sama?"
"Perkataanmu dengan Ibu," sahut Naruto sambil memandangi pelangi di atas sana.
Raito POV
Hari ini, aku sangat bahagia. Kenapa? Tentu karena aku dapat pergi ke taman bersama Ayah dan Ibu. Sudah lama kami tidak pernah pergi bertiga semenjak Ayah sibuk dengan urusan perusahaannya yang ada di Suna. Tapi sekarang, aku sudah lega karena Ayah sudah menyerahkan tanggung jawab perusahaan itu kepada bawahannya sedangkan Ayah hanya akan mengurusi perusahaan yang ada di Konoha.
Sekarang, kami bertiga sedang memandangi sebuah maha karya indah ciptaan Tuhan. Tapi, walaupun maha karya itu indah. Aku tetap saja tidak terlalu menyukai hal yang bernama pelangi tersebut. Aku merasa kalau pelangi itu memendam suatu rahasia, entah itu apa.
Aku lebih menyukai cahaya matahari daripada pelangi. Mungkin aku lebih menyukai cahaya karena pengaruh namaku yaitu Raito. Raito diambil dari bahasa Inggrisnya cahaya yaitu 'light'. Kata Ibu, aku diberi nama itu agar aku bisa memberikan cahaya pada semua orang. Aku sendiri sangat menyukai namaku sendiri.
Kali ini, aku melihat Ayahku. Dia melihat pelangi di depan kami dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan ditambah dengan senyumnya itu. Itu senyum apa? Seperti sebuah senyum yang mengartikan sebuah penyesalan. Ya, penyesalan. Penyesalan yang sangat dalam.
Sekarang, aku memalingkan wajahku ke arah Ibuku. Ibuku juga sekarang sedang tersenyum sambil melihat pelangi di atas sana, mirip dengan senyum milik Ayah.
Tunggu dulu, sepertinya aku tidak asing dengan senyum mereka berdua. Sepertinya aku sering melihat senyum seperti itu. Tapi, di mana?
Oh ya, senyum mereka itu mirip dengan senyum mereka yang ada di foto itu. Sebuah foto yang ada di ruang tamu rumahku. Di foto itu terdapat tujuh orang, paling pinggir ada Nenekku lalu di sampingnya ada Ayah dan Kakekku. Di sebelanya ada Paman Shikamaru dan Paman Sasuke. Lalu ada Ibu dan Bibi Ino.
Mereka bertujuh mengenakan pakaian yang sesuai dengan tujuh warna pelangi. Aku sediri tidak pernah menanyakan kenapa mereka berpakaian seperti itu pada Ayah atau Ibu. Aku sendiri merasa kalau hal itu memiliki arti khusus dalam hidup Ayah dan Ibu. Entah apa itu. Yang pasti hanya mereka saja yang tahu.
Pelangi dengan tujuh warna yang akan selalu seperti itu. Tidak akan pernah berubah selama-lamanya. Mereka akan tetap ada setelah hujan berhenti dengan bantuan sinar matahari. Mereka akan terus menjadi saksi tentang apa yang terjadi di dunia.
"Raito, ayo kita pulang," tiba-tiba saja Ayah berbicara.
"Kenapa pulang sekarang? Kita kan baru sampai,"
"Ayah ingin menceritakan sesuatu padamu. Sudah seharusnya kau mengetahui hal ini," sahut Ayahku.
"Sesuatu apa?" aku tidak terlalu mengerti dengan ucapan Ayahku.
"Sesuatu yang terjadi pada pelangi dua belas tahun yang lalu," kali ini, Ibuku yang menjawab.
"Memangnya ada apa dengan pelangi?" aku benar-benar bingung kali ini.
"Sudahlah, nanti saja Ibu ceritakan di rumah,"
"Ayo, kita pulang," Ayahku pun menuntunku untuk turun dan kami pun berjalan beriringan menuju rumah kami. Aneh sekali, ini pertama kalinya aku tidak rewel ketika mereka mengajakku pulang dari taman. Biasanya aku akan rewel dan lebih memilih tetap berada di taman.
Entah mengapa, sekarang aku merasa kalau sesuatu yang ingin kuketahui selama ini akan kuketahui setelah aku sampai di rumah. Sesuatu yang berhubungan dengan pelangi. Dan sesuatu itu sepertinya juga berhubungan dengan foto yang ada di ruang tamuku.
End of Raito POV
Pelangi..
Sebuah maha karya ciptaan yang maha kuasa..
Tujuh buah warna selalu menyertaimu..
Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu..
Empat warna pokok dengan tiga warna gabungan..
Kau muncul di cakrawala ketika hujan bersentuhan dengan cahaya sang surya..
Bentukmu selalu melengkung jika muncul di atas sana..
Bagai membelah dunia ini menjadi dua..
Baik dan buruk, cahaya dan kegelapan..
Kita hanya perlu memilih..
Berada di dalam atau di luar, cahaya atau kegelapan..
Pikirkan pilihanmu dengan baik sebelum kau tidak diizinkan untuk memilih kembali..
.
.
The Seven Light –The End–

0 komentar:

Posting Komentar

Cara mudah berkomentar:
1. Isi kolom komentar
2. Pilih berkomentar sebagai anonymous
3. Publikasikan
:)
put u'r comment here.