English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translete Menu
Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info

-Total Readers-

Don't Be a Silent Readers, Put Your Comment Here :)

Sabtu, 31 Desember 2011

Yugi's Final Destination chapter 2 (complete)

Disclaimer: YugiOh! Is belongs Kazuki Takahashi…not my own :D
Genre : Horror/Tragedy-two shot
Rated: T
Terinspirasi dari film final destination..
Note: Hampir tidak ada romance di sini (atau mungkin bagi pembaca malahan tidak ada yang bisa disebut romance). Dan mohon maaf, event-event kematiannya mungkin akan kurang memuaskan dan tidak sadis-_-;
Summary: Setelah kejadian itu, sekolah Domino hancur, semua tewas, hanya segelintir orang yang selamat atas tragedy tersebut, hanya saja, sepertinya tkdir kematian terus menghantui mereka. Satu per satu dari mereka mulai mengalami kejadian tragis yang tidak akan mereka lupakan atau mungkin meninggal di tempat. Hanya ada dua kemungkinan. Kau hidup? Atau mati?
Kaiba masih tidak menerima kenyataan bahwa dirinyalah berikutnya yang akan tertimpa kemalangan. Mungkin itu baik-baik saja jika mati dalam keadaan normal. Tapi yang tidak bisa ia terima, Ryou dan Otogi memang berhasil kabur dari bencana itu, tapi mereka malah mati dengan cara yang sama mngenaskannya dengan teman-teman yang lain. Ia sangat frustasi sekarang. Sesaat setelah Yugi memberitahukan urutan kematian berikutnya adalah dirinya, ia langsung keluar dan berlari dari café tadi. Sekarang ia sedang berjalan tak menentu arah, di otaknya berputar kemungkinan-kemungkinan cara ia akan meninggal nantinya.
"Oi!" dari arah belakang, ada sebuah suara yang sangat familiar bagi pria itu.
"Ada apa, Mutt?" tanyanya dingin.
"Heh….masih sempat kau menghinaku, sudah, lebih baik kita bersama-sama, dan mencari jalan keluar." Balas Jou
"huh… apa dengan bersama kalian aku akan aman? Tidak ada jaminan'kan?" katanya dengan nada sinis…tapi terdengar putus asa.
"Ayolah! Paling tidak kita berusaha! Lagipula kalau kau mati, berikutnya aku!" Jou panik dengan perkataannya sendiri. Memang benar, Yugi telah menceritakan seluruh mimpinya saat itu.
"Lalu memang apa yang mau kau lakukan, hah?" Kaiba yang mulai kesal sedikit membentak, tapi di tanggapi dengan biasa oleh Jou, dia sudah biasa menghadapi Kaiba yang naik darah seperti ini. Dan dia tau, Kaiba pasti sangat ketakutan sekarang.
"Kata Yugi, mungkin jika kita memutuskan rantai urutan kematian kita, itu bisa dihentikan! Jadi jika kau aman, kita semua akan selamat!" Jou berusaha untuk meyakinkan Kaiba.
"Heh…kalian bodoh! Meski aku selamat, takdir akan terus mengejarku! mengejar kita! Lalu semua tetap akan berakhir dengan kematian!"
Jou ternganga dengan perkataan Kaiba, mereka tidak berpikir sampai sejauh itu. Apakah itu berarti mereka harus menerima nasib mereka? Lari hanya menambah penderitaan karena takdir akan tetap mengejar mereka. Meski bertahun-tahun….apakah takdir itu akan tetap mengejar? Jou kehilangan kata-kata untuk meyakinkan Kaiba. Karena keyakinan dirinya sendiri juga mulai goyah…
Akhirnya Jou mulai meninggalkan Kaiba. Wajahnya tertunduk. Ia berpikir. Cepat atau lambat ia akan menerima takdirnya. Mereka berdua terlihat sangat pasrah.
xXx
'putaran air? …koin? …merah?…kalung?…'
"A…Akan ada apa lagi?" Yugi terlihat panik, di otaknya berputar beberapa hal yang tidak bisa ia mengerti. Wajahnya mengisyaratkan ketakutan….karena mimpi itu mungkin pertanda…satu lagi orang akan mati.
"Aku Harus memberi tahu Kaiba!" dengan segera bangkit dari sofa di mana ia duduk tadi, dan bergegas menuju telepon.
Berkali-kali Yugi berusaha menelepon Kaiba, tapi tidak di angkat. Dia sudah berusaha beberapa kali dan akhirnya menyerah. Yugi mulai menghubungi yang lain, mungkin saja kaiba sedang berada bersama mereka. Tapi telepon Jou juga tidak kunjung di angkat, akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi Anzu.
"Halo?"
"Halo, Anzu? Apa Kaiba ada di sekitar situ?"
"Tidak…."
"Gawat nih!"
"Ada apa?"
"Aku sudah melihat petunjuk…kematiaannya…"
"APA? AYO CARI DIA, YUGI!"
"I…IYA!"
Dengan cepat, Yugi menutup teleponnya, dan bergegas memanggil Yami. Setelah itu, mereka berdua mulai keluar rumah dan mencari Kaiba.
xXx
Saat ini, Kaiba sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Tentu saja. Dia terus berjalan, berputar-putar di kota Domino. Tanpa mobil limo mewahnya, bahkan, beberapa telepon dari rekan kerja bisnisnya tidak ia gubris. Ia benar-benar tidak mau memikirkan apapun kali ini.
Tiba-tiba ada seorang wanita yang sepertinya tergesa-gesa membawa tumpukan baju di keranjang berlari. Sepertinya ia akan mencuci dan tidak memiliki banyak waktu. Tapi ia tidak sengaja menabrak Kaiba, Kaiba yang saat itu sedang memegang kalung yang berisi foto Mokuba, terjatuh ke cucian tersebut. Wanita itu hanya meminta maaf dan terus menuju ke laundry. Kaiba hanya tercengang sedikit, tapi kemudian ia tersadar dan segera menyusul wanita tersebut. Ia masuk ke dalam laundry tersebut, dan mencari-cari wanita itu. Ia melihat bahwa seluruh pakaian (beserta kalungnya) sudah masuk dalam mesin cuci dan wanita tersebut sedang akan memasukan Koin untuk menyalakan mesinnya. Tapi Kaiba terlalu panic, dan membuka mesin itu, lalu memasukan tangannya serta mencari-cari kalung tersebut. Sayangnya. Akibat kepanikannya sendiri, ia menyenggol wanita tersebut dan koinnya terlanjur masuk. Mesin cuci itu sangat besar, karena putarannya kuat, Kaiba terdorong masuk dan pintunya otomatis tertutup. Wanita itu berteriak histeris, darah mulai menodai air dan cuciannya, tapi bukan karena itu ia berteriak. Karena ada gumpalan-gumpalan daging yang menempel di kaca.
Beberapa hari kemudian, berita ini disiarkan di televise, Yugi menegang, tapi bukan dia yang paling pucat saat ini. Melainkan Jou. Kematian Kaiba adalah tanda mulai untuk dirinya menghadapi kenyataan mengerikan. Jou sungguh tidak kuat untuk membayangkannya, ingin sekali ia mati saat itu juga, mati bunuh diri. Bukan mati karena tragedi sadis yang dihadapi teman satu takdir dengannya. Kematian mereka semua mengenaskan. Jou berpikir, kalau ia mengakhiri hidupnya dengan cara biasa, ia tidak perlu merasakan kengerian dari kejadian-kejadian yang amat mengenaskan itu.
Kemudian Jou berlari ke kamarnya, ia mulai mencari-cari obat. Dan ia menemukannya….obat dengan dosis tinggi yang dapat mematikan. Ia segera mengambil air, dan duduk. Tapi…raganya tidak mau menurutinya, ia telah berusaha, tapi tidak berani meminumnya. Karena tidak kuat meminumnya, ia memutuskan untuk gantung diri saja. Ia memasang tali, dan mulai naik ke atas kursi, menggantung lehernya, dan mendorong kursi di kakinya hingga ia tercekik
xXx
Yugi sangat Khawatir kepada Jou, ia meminta Yami untuk menemaninya ke rumah Jou. Perasaan tidak enak terus menghantuinya, apalagi berikutnya adalah giliran Jou. Tapi ia blum dapat petunjuk-petunjuk kematian Jou. Maka ia ingin cepat-cepat bersamanya dan berusaha melindunginya sebelum sesuatu terjadi. Sesampainya di rumah Jou. Yugi tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Jou. Rumahnya gelap, tapi tidak terkunci! Mereka berdua cepat-cepat masuk, dan memeriksa seluruh ruangan satu persatu, mereka melihat obat-obatan yang tadi hendak digunakan oleh Jou.
Betapa terkejutnya, ketika mereka melihat Jou sedang berusaha merilekskan tubuh di tiang gantungan (?). cepat-cepat mereka hendak menolong Jou, tapi tali penyangganya putus.
"JOU! APA SIH YANG KAU LAKUKAN?" Yugi marah-marah
"habis….aku takut mati tragis. Tapi, kenapa aku selalu gagal bunuh diri?...apa takdir kita memang harus mati mengenaskan?" jawab Jou yang sudah pasrah akan hidupnya itu. Yugi jadi tidak tega melihat temannya itu
"Jou…pasti ada jalan keluar…" kata Yami berusaha meyakinkan.
"Tapi…TAPI! Takdir kita memang tidak bisa di ubah, Yugi! Yami! Harusnya kita mati saat itu juga! Dan takdir menghantui kita yang hidup! Kita takkan bisa lari!" Jou berteriak frustasi. Kata-kata almarhum Kaiba terus saja menjatuhkan mentalnya. Yugi hanya terdiam…..tidak bisa menjawab, karena kata-kata Jou mungkin ada benarnya.
"…sepatu…batu besar…kereta api"
'I…tu…' batin Yugi lagi-lagi merasa sesak. Petunjuk kematian sahabat karibnya sudah terbuka. Waktunya sebentar lagi habis.
"Yugi….apa kau melihatnya lagi?" Tanya Yami berbisik. Yugi hanya mengangguk. Yami terdiam, dia memang sering kali tidak menunjukan ekspresinya. Tapi dalam hati, ia juga sedih. Sebentar lagi mereka akan kehilangan teman mereka ini. Jou mulai mengerti akan hal yang mereka bicarakan. Ia mulai merasa sesak. Secepat kilat ia lari keluar. Tidak menggubris kata-kata dan panggilan kedua sahabatnya itu. Air matanya mulai jatuh. Ia bukanlah lelaki cengeng yang mudah menangis, tapi ia tak tahan lagi, membayangkan dirinya akan mati.
Saat dir el kereta api, ia tidak mendengar peringatan dan suara lampu penghalang rel, ia terus berlari, hingga sepatunya trsangkut. Ia mencoba menariknya, tapi gagal. Ia terus berusaha, kini kakinya terjepit! Tiba-tiba, batu besar menghantam perutnya hingga tersungkur di tanah, kereta datang dengan kecepatan penuh. Jou terlindas begitu saja. Darahnya tercecer ke mana-mana. Sisa-sisa tubuhnya menempel di rel. Yugi pingsan seketika melihat hal itu. Yami hanya bisa memandang ngeri. Hilanglah satu orang lagi.
xXx
beberapa lama, mereka terus mencari cara yang mungkin akan merubah takdir mereka. Dan akhirnya, Yami menemukan suatu cara. Entah berhasil atau tidak.
"salah seorang dari kita harus mati sebelum Anzu, maka urutannya akan salah dan takdir berubah." Katanya Singkat membuat orang yang tersisa. Yakni Bakura, Anzu dan Yugi terbelalak shock.
"Tapi….." Yugi tidak mampu meneruskan kata-katanya, ia tidak ingin mati, tapi ia tidak ingin membunuh seseorang untuk menebus takdir mereka. Apa harus dirinya? Sang petunjuk?
Tapi, sebelum jawaban datang, sebuah kekacauan.
Gempa bumi meruntuhkan bangunan tempat mereka berada. Tubuh Anzu tertembus oleh baja-baja bangunan yang terlihat akibat runtuhnya tembok yang di sebabkan gempa, dan meninggal seketika. Kepala Bakura terlindas Truk nyasar dan hancur. Yami dan Yugi yang hendak melarikan diri. Mati di escalator turun. Eskalatornya rusak dan menyeret mereka sehingga mereka tergilas hingga habis di dalamnya….
xXx Fin xXx
Read More >>

Yugi's Final Destination chapter 1

Disclaimer: YugiOh! Is belongs Kazuki Takahashi…not my own :D
Genre : Horror/Tragedy-two shot
Rated: T (kalau rated kurang tepat…mohon beritahu)
Terinspirasi dari fil final destination..
Note: Hampir tidak ada romance di sini (atau mungkin bagi pembaca malahan tidak ada yang bsia di sebut romance)
Summary: Yugi adalah siswa SMU di sekolah Domino, tiba-tiba ia merasa ngantuk sekali, tapi datang angin besar dan membuat beberapa engsel copot serta bangunan yang terkena mulai terhempas dan roboh. Beberapa hal mengerikan mulai terjadi. Hal tersebut ternyata adalah mimpi Mutou Yugi, tapi dirasa sangat nyata. Dan….mulailah "penglihatan" Yugi mengenai tewasnya teman-temannya. Apakah semua temannya dipastikan mati? Apakah ia akan berakhir seperti itu juga? Ataukah mereka yang tersisa dapat bertahan hidup?
Pagi ini sangat cerah, Seorang anak kecil dengan rambut jabrik tiga warna terbangun dari tidurnya yang nyenyak dan mulai bergegas untuk pergi ke sekolah. Anak tersebut mulai mandi dan menggosok giginya, kemudian segera mengenakan seragam. Ia mengenakan seragam biru. Celana panjang berwarna biru, dan kaus hitam yang ditutupi oleh jas sekolah berwarna biru juga, tidak lupa mengikatkan dua buah ikat pinggang di pinggangnya, juga mengenakan kalung favoritnya. Dilihat dari pakaiannya, tidak terduga bahwa sebenarnya anak kecil yang kita sebut barusan telah remaja, meski tubuhnya masih tergolong anak SD, tapi diah sudah menginjak SMU. Ketika pemuda ini hendak ke sekolah, ia teringat akan seorang pemuda lagi yang mungkin masih tertidur di kamarnya. Segera ia beranjak dari pintu keluar tersebut dan segera menaiki tangga menuju kamar pemuda lain itu. Dia membuka pintu dengan keras dan tatapannya tertuju pada pemuda yang rupanya mirip dengan dirinya, bahkan rambut anehnyapun serupa, hanya berbeda beberapa poni emas yang mencuat. Orang yang ditatapnya itu masih tertidur dengan pulas. Ia berjinjit mendekati pemuda yang sedang tertidur itu. Tak lama kemudian, ia telah berdiri di sebelah kasurnya.
"WAH! HAHAHAHA! HENTIKANNN!" pemuda yang sedang tertidur itu langsung bangun seketika setelah mendapatkan jurus maut dari lelaki kecil tadi berupa kelitikan.
"He…Hentikan Yugi! H…hhaha!" teriak pemuda itu berusaha melepaskan diri dari jurus tersebut, ia sudah hamper kehabisan nafas.
"Salah sendiri kau masih tidur di hari sekolah seperti ini! Cepat bersiap, Yami!" Lelaki kecil yang bernama Mutou Yugi tersebut mulai menceramahi pemuda yang bernama Yami tersebut.
"I…Iya-iya…aku akan bersiap, tunggulah di bawah." Jawab Yami lega karena sudah dilepaskan. Yugi mengangguk dan segera turun untuk menyiapkan makanan untuk sahabatnya itu. Sahabat? Ya, Yugi dan Yami itu bersahabat, tapi alasan mengapa mereka tinggal serumah adalah karena orang tua Yami menitipkan Yami pada Sugoroku sebelum mereka meninggal akibat sebuah kecelakaan mobil, dan hanya sempat meninggalkan beberapa kata terakhir. Sugoroku menerima Yami di rumahnya bagaikan cucunya sendiri. Tapi, Sugoroku sendiri telah meninggal beberapa minggu yang lalu akibat shock karena terkena tegangan listrik dan jatuh dari tangga, saat itu Yugi dan Yami tidak sedang berada di rumah dan tidak ada yang menolong Sugoroku sehingga, saat mereka pulang, semua telah terlambat. Awalnya mereka berdua tidak bisa menerima kematian Jiichan mereka itu, namun perlahan-lahan, mereka mulai kembali menjalani kehidupan meski terkadang perasaan sedih dan rindu masih menghantui mereka.
Tidak lama kemudian, sekitar 10 menit, Yami mulai terlihat sedang menuruni tangga, Yugi yang mendengar langkah kaki tersebut mulai menoleh ke belakang, "ho~ tumben cepat, Yami. Biasanya paling tidak kau baru turun setelah sekitar 20 menit." Kata Yugi.
"yah…dan kau akan menggedor-gedor pintu kamar mandi." Jawab Yami sambil duduk di meja makan dan mulai menyantap roti panggang serta susu hangat buatan Yugi. Yugi hanya tersenyum, karena memang rutinitas itulah yang hampir setiap pagi mereka lakukan. Kecuali jika Yami bangun lebih dulu dari Yugi atau Yugi sedang sakit. Tentu saja jika mereka sedang bertengkar juga, Yugi tidak akan membangunkan Yami, dan Yami akan terlambat ke sekolah. Tapi itu jarang terjadi melihat keakraban mereka. Setelah Yami selesai makan, yugi segera membereskan sisa-sisanya, agar Yami bisa cepat-cepat memakia sepatunya. Setelah rumah beres, mereka mulai berangkat ke sekolah. Sepanjang jalan tercium wangi mint, mereka melewati deretan pohon yang sedang gugur karena sedang musim gugur. Perasaan sangat nyaman mengingat di daerha situ jarang kendaraan lewat, bahkan sungai di tengah kota itu, meski di halangi pagar, kejernihan airnya masih dapat memantulkan keindahan kota. Di seberang deretan tersebut banyak kios-kios kecil, café, atau sekedar toko mini. Suasana yang sungguh masih menyejukkan.
Yugi suka sekali melewati jalan ini, apalagi masih pagi-pagi, masih sepi. Untuk itulah ia akan berangkat meski masih kepagian. Yami memang suka menggerutu karena sikap Yugi ini, tapi ia tetap menemani Yugi. Awalnya Yugi bilang kalau ia bisa pergi sendiri, dan Yami bisa menyusul jika ia mau. Tapi Yami memutuskan untuk pergi bersama, dan karena itulah Yugi selalu membangunkannya pagi-pagi. Mungki Yami berpikir, jika ia tidak pergi bersama Yugi, ia akan bangun beberapa jam lagi dan akan terlambat sekolah, jam weker tidak cukup untuk membangunkan dirinya.
Setelah beberapa jam berjalan, mereka sampai ke tempat tujuan mereka, yaitu sekolah. Karena masih pagi, tentu saja sekolah masih sepi. Hanya sedikit siswa yang sudah datang, dan itupun kelihatannya benar-benar siswa teladan dan pintar. Yugi dan Yami memasuki kelas mereka dan Yami mengambil tempat yang paling belakang dan dekat jendela, sementara Yugi mengambil tempat di depannya. Yugi menguap sedikit. Kelihatannya ia mulai mengantuk. Dan…akhirnya ia menangkupkan kedua tangannya dan membenamkan wajahnya ke tangan kecilnya tersebut…
Yugi's P.O.V
"Yugi! Bangun!" suara Yami perlahan membangunkan aku
"hey, bangun Yugi! Kelas sudah mau di mulai!" saat kubuka mata, kulihat Jou juga sedang meneriaki aku, wajahnya khawatir karena guru paling killer sudah akan memasuki kelas, dengan sigap aku terbangun dari tidurku. Pelajaran di mulai, aku tidak mengerti sama sekali pelajaran yang di berikan guruku itu…sin(x-10o) = cos (3x-20o) apa lagi itu? Ini masih awal semester kedua kelas 1 dan aku tidak mengerti pelajaran-pelajaran yang guruku berikan, bahkan arti soalnya saja aku tidak mengerti!
"Ada apa, aibou?" Tanya Yami padaku. Aku hanya memasang tampang memelas dan membalikan tubuhku sambil menunjuk soal, ia hanya tertwa kecil dan mulai mengambil buku serta pensilku.
"Ini adalah hal yang sangat mudah, Yugi. Ini…caranya begini…" Yami mulai menerangkan rumus-rumus penyelesaian matematika itu padaku, yang ternyata amatlah mudah,
"jadi hasilnya adalah x=30, kau mengerti?" Tanya Yami memastikan, aku hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian kembali menghadap ke depan. Setelah beberapa menit, guru itu meminta satu orang murid maju untuk menjawab pertanyaan tersebut dan menuliskannya di papan tulis. Ternyata dia tidak bisa menjawab, guruku mulai memarahinya dengan keras sehingga kami semua terdiam, tapi…SHUSSSH… aku berpikir, di tengah suasana seperti ini, siapa yang sempat-sempatnya mengeluarkan suara aneh?tapi tidak, aku salah, itu bukan suara siapapun. Ada angina kencang menuju ke arah sekolah kami! Seketika jendela-jendela pecah. Buku berterbangan, kaca mulai menghantam kepala dan tubuh orang-orang. Bahkan lempengan besi sanggup memotong dan mengiris beberapa murid. Pemandangan mengerikan…Yami menarikku untuk keluar, tapi saat kami di lorong, keadaan sangat mengenaskan juga. Beberapa orang mulai ambruk, darah mengalir. Ada yang terkoyak, terpotong, tewas…aku panik…aku tak sengaja melihat Otogi terlempar ke pojok dan dihimpit benda-benda tajam, lalu tiba-tiba aku melihat Ryou lalu Kaiba mati dalam kadaan mengenaskan di depan mataku. Kepala mereka tertusuk-tusuk benda tajam. Lalu aku mulai melihat Jou mulai terpotong-potong saat menyusul kaiba, Anzu tiba-tiba tertusuk jangka besar, dan kemudian kepala Bakura terhantam bola besi dengan kecepatan penuh hingga hancur. Dan…Yami mulai meneriaki aku di depan lab. untuk lari, tapi seketika…badannya hancur terkena larutan-larutan kimia yang berterbangan. Aku sangat Shock! Tapi…tiba-tiba tembok runtuh menimpaku…..
End Yugi's P.O.V
"Yugi! Bangun!" suara Yami perlahan membangunkan Yugi
"hey, bangun Yugi! Kelas sudah mau di mulai!" saat Yugi membuka mata dengan cepat dan terengah-engah, ia melihat Jou juga sedang meneriakinya, wajahnya khawatir karena guru paling killer sudah akan memasuki kelas, dengan sigap Yugi terbangun dari tidurnya, tapi ia juga merasa heran….apakah yang tadi hanya mimpinya? Pelajaran di mulai, Yugi tidak mengerti sama sekali pelajaran yang di berikan guru itu…sin(x-10o) = cos (3x-20o) tapi….setelah ia ingat-ingat, ini sama seperti di mimpinya, jadi ia dapat mengerjakan itu dengan baik, tapi juga sedikit gelisah.
"Ada apa, aibou?" Tanya Yami. Yugi hanya memasang tampang yang melukiskan kata-kata 'aku ok' kemudian kembali menghadap ke depan. Setelah beberapa menit, guru itu meminta satu orang murid maju untuk menjawab pertanyaan tersebut dan menuliskannya di papan tulis. Ternyata dia tidak bisa menjawab, guru tersebut mulai memarahinya dengan keras sehingga kelas menjadi terdiam dan hening, tapi…Yugi berpikir, bahwa ia ingat. Ini sama seperti di mimpinya! Seperti dé javu Seketika Yugi berdiri dan berteriak
"LARI!SEMUA LARI!" Yugi histeris,
Yami menjadi khawatir, "Ada apa, yugi?"
"Yami! Aku tertidur! Kau membangunkanku bersama Jounouchi-kun! Soal yang harusnya tak kupahami ini! Murid yang maju mengerjakan soal! Semua ada dalam mimpiku, Yami! Se…setelah ini! Akan ada kejadian! Kita harus kabur…atau…AH!" secepat kilat Yugi keluar dan berlari. Beberapa orang heran tapi mengikuti dan mengejar Yugi keluar, terutama teman-temannya. Tapi beberapa hanya menganggap Yugi orang bodoh dan gila sehingga tidak menghiraukannya. Guru tersebut hendak mengejar, tapi ia beranggapan mengajar lebih baik, dan akan menghukum Yugi nanti. Tapi seketika, angina kencang datang. Seketika jendela-jendela pecah. Buku berterbangan, kaca mulai menghantam kepala dan tubuh orang-orang. Bahkan lempengan besi sanggup memotong dan mengiris beberapa tidak hanya di kelas itu, di lorong, keadaan sangat mengenaskan juga. Beberapa orang mulai ambruk, darah mengalir. Ada yang terkoyak, terpotong, tewas. Beruntunglah orang-orang yang menanggapi yugi terselamatkan….tapi hanya segelintir orang, yakni dirinya, Yami, Jou, Kaiba, Otogi, Ryou, Bakura, dan Anzu yang selamat.
"A…Apa itu?" Jou ketakutan.
"Yugi….kau…tadi kau berteriak karena tau ini akan terjadi?" Kaiba mulai bertanya pada Yugi, tapi masih dalam masa ketakutan yang amat sangat. Yugi hanya mengangguk diam.
"Yugi…apa ini benar-benar ada di mimpimu?" Tanya Yami, mulai cemas dengan keadaan Yugi. Yugi mengangguk lagi.
"tidak apa, Yugi…kau menyelamatkan kami…." Hibur Jou, tentu dengan wajah yang masih sangat takut.
"Ta…Tapi…aku tidak meyakinkan semuanya, bahkan aku tidak memperingatkan siswa kelas lain….aku hanya kabur demi diriku sendiri…." Yugi mulai menangis dan gemetar, tubuhnya mulai berlutut. Yami, Anzu, serta Jou mulai bingung.
"Sudahlah..Yugi…jika kau memberitahu yang lain, mungkin tak satupun orang akan selamat…" Anzu berusaha meyakinkan Yugi
"Tapi….Tapi…Tetap saja…aku…egois…." Air mata Yugi mulai mengalir deras, amat deras. Ia sungguh menyesal dan merasa bersalah akan kematian semuanya. Lalu tiba-tiba, secara tidak terduga. Dari dalam lempengan besi dengan kecepatan penuh, menebas kepala Otogi hingga putus.
"KYAAAAAAAAAAAAAAAA" Anzu teriak histeris sementara yang lain berwajah horror nan pucat melihat kepala yang terputus, darahnya muncrat dan mengenai wajah mereka…..mereka hanya bisa terdiam dalam keadaan itu.
Seminggu kemudian, Yugi kembali mendapatkan mimpi
'mobil pemadam kebakaran….rantai…seseorang berambut putih…'
Yugi terbangun…terengah-engah lagi…mimpi buruk…tapi setelah melihat jam, ia segera bergegas, ia ada janji. Kemudian mereka (yang masih hidup) berkumpul di sebuah Café, mereka ingin berkumpul dan berusaha melupakan kejadian kemarin. Tapi saat ini, Ryou belum bertanya-tanya kenapa? Bahkan Bakurapun tidak tahu-menahu tentang Ryou dari kemarin….tiba-tiba Yugi terdiam…di otaknya berputar suatu kejadian…
Tiba-tiba TV kecil di sana menunjukan suatu berita 'di temukan jenazah ini, kemarin malam, di daerah utara kota Domino…' mereka sangat shock melihat Ryou yang terlilit rantai dalam posisi terbalik di atas sebuah mobil pemadam kebakaran. Yugi makin pucat.
"Te…teman-teman…sepertinya takdir kematian mengikuti kita…." Kata Yugi, semua terdiam dan melihat ke arah Yugi.
"A…apa maksudmu?" Tanya Jou mulai panik
" kau tahu? Kita selamat, tapi kemudian, Otogi malang tetap meninggal, lalu Ryou. Bahkan sebelum jam kematian Ryou, kemarin aku bermimpi hal, mobil pemadam kebakaran, rantai, dan pria berambut putih! Dan dalam mimpiku yang pertama, urutan yang meninggal di depan mataku adalah Otogi, lalu Ryou! Jadi kemungkinan…." Yugi terdiam
"APA? Maksudmu kita akan mati sesuai urutan?" Bakura shock tidak percaya
"Pasti ada cara untuk mencegah hal itu terjadi!" Anzu makin takut,
"Ya…lalu, siapa selanjutnya, Yugi?" Tanya Yami pelan-pelan.
"Menurut mimpiku…selanjutnya…Kaiba-kun…" Yugi terbata-bata. Kaiba hanya terbelalak dan memikirkan nasib tragis yang akan segera menimpanya
Read More >>

Kamis, 29 Desember 2011

Kekasihku Menjemputku_Chapter 5 ( End )

Author: Tania Hikarisawa

"Ah..pergi, cepat pergi dari sini," racauku sambil berjalan mundur menjauhinya. Aku dapat melihat Sasuke yang basah kuyup. Tangan kirinya memegang sebuah ponsel sedangkan tangan kanannya tidak ada. Jaket biru yang menutup tubuhnya penuh dengan darah dan wajahnya terlihat sangat mengerikan. Wajahnya terlihat sangat pucat dengan noda lebam dan darah yang banyak bahkan masih ada darah yang mengalir dari kepalanya. Sungguh menyeramkan. Aku tidak sanggup berdiri lagi.
Bruk!
Aku pun terjatuh ke lantai. Air mataku sudah banyak yang turun, rasa takut, menyesal dan sedih bercampur menjadi satu. Aku sudah tidak sanggup menghadapi semua ini.
"Sa..Sasuke, aku mohon ma..maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk mem..bunuhmu," mohonku sembari menangis.
Aku semakin bergerak ke belakang dengan posisiku yang terduduk di lantai. Dia terus maju mendekatiku sedangkan aku terus mundur. Aku benar-benar takut. Sangat takut.
"Sakura, kau tenang saja, sekarang aku akan menjemputmu," ujarnya tiba-tiba.
Tidak, aku mohon jangan, jangan bunuh aku Sasuke. Aku masih ingin hidup. Dia segera mendekatiku dengan sangat cepat. Ponsel di tangan kirinya dibuang begitu saja, sedangkan tangan kirinya mencengkram leherku, mengangkatku ke atas sampai-sampai kakiku tidak berpijak dilantai lagi.
"Kumohon Sa..suke, jangan bu..nuh a..ku," mohonku lagi.
Brak!
Dia menghantam kepalaku ke dinding sampai-sampai aku dapat merasakan kepalaku berdarah. Dia menyeringai di hadapanku. Cengkramannya di leherku pun semakin erat dan semakin membuatku sulit untuk bernafas.
"Sa..su..ke, a..ku men..mencintaimu," ucapku sebelum semuanya tiba-tiba menjadi gelap.

End of Sakura's POV
..o0o..

Normal POV

Malam semakin larut di Konoha, hujan pun sejak tadi belum berhenti. Di jalanan yang sepi, terlihat sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan sedang. Di dalamnya terdapat satu orang laki-laki dan dua orang wanita.
"Ya ampun, kenapa kalian sampai seceroboh ini. Memberikan potongan tangan itu kepada mahasiswa kalian. Padahal jelas-jelas tubuh dan potongan tangan itu masih diperiksa dan belum diberikan izin untuk menggunakannya dalam praktek. Kalian tahu kan, kalau Universitas kita digunakan sebagai tempat penyimpanan sementara untuk mayat tersebut karena tempat di rumah sakit penuh dan itu bukan berarti kalian boleh menggunakannya sesuka hati kalian," ujar lelaki di dalam mobil itu panjang lebar sembari menyetir mobilnya.
"Sudahlah, Kakashi. Kau jangan terus menyalahkan kami, kami terpaksa melakukannya karena kami kekurangan anggota tubuh untuk bahan praktek," sahut wanita yang bernama Tsunade.
"Sekarang sebaiknya kita cepat-cepat pergi ke rumah Sakura. Menurut Ino, tangan itu dibawa oleh Sakura. Cepatlah sedikit Kakashi, jangan sampai Sakura sudah menggunakannya untuk praktek. Jika itu terjadi bisa-bisa kita yang disalahkan oleh keluarga Uchiha itu. Aku benar-benar tidak menyangka kalau mayat itu adalah mayat Uchiha Sasuke, seorang pebinis kaya dari Suna," ujar Shizune panjang lebar.
"Ya, ya, ini sudah kupercepat," sahut Kakashi.
Beberapa menit kemudian, sampailah mereka di sebuah flat milik Sakura Haruno. Mereka bertiga segera turun dari mobil tanpa payung dan itu membuat mereka sedikit basah karena hujan. Kakashi di depan, dia segera mengetuk pintu rumah Sakura. Karena tidak ada tanggapan, dia pun menggedor pintu itu dengan sangat keras. Dan tiba-tiba saja, pintu itu pun terbuka.
"Terbuka, sepertinya Sakura lupa mengunci pintu rumahnya," ucap Kakashi.
"Sudahlah, ayo cepat masuk," Tsunade pun masuk ke dalam diikuti oleh Shizune dan Kakashi.
"Permisi, Sakura, Sakura, apa kau ada di dalam?" ucap Shizune sedikit berteriak.
Dan mereka bertiga pun sampai di ruang tengah. Betapa terkejutlah mereka melihat ruangan tersebut.
"Apa i..ini?" suara Tsunade terdengar gemetar.
Mata ketiga orang tersebut dapat melihat seorang gadis yang terbujur kaku sedang duduk dengan menyandar di dinding. Mata gadis itu terbuka dan terlihat sedikit menghitam. Lidahnya menjulur keluar dari mulutnya. Wajah dan kulitnya terlihat berwarna putih dan sangat pucat. Dan mereka bertiga lebih dikejutkan lagi dengansesuatu yang ada di leher gadis tersebut. Di leher gadis itu ada potongan tangan yang mencengkram leher gadis itu.
"Bagaimana bi..sa?" lagi-lagi Tsunade bersuara.

..o0o..

"Dimana? Aku dimana?" tanya Sakura entah pada siapa. Dia terlihat mengenakan baju terusan berwarna putih dan di sekelilingnya pun hanya ada warna putih yang terlihat.
"Tenang Sakura. Kau bersamaku," tiba-tiba saja ada seseorang yang memeluk Sakura dari belakang.
"Sasuke?" tanya Sakura sembari membalik tubuhnya sendiri dan sekarang ia dapat melihat sosok pria yang sangat ia rindukan."Sasuke, aku sangat merindukanmu," ucap Sakura. Dia pun memeluk Sasuke, menenggelamkan wajahnya di dada bidang Sasuke.
Sasuke membalas pelukan Sakura. "Aku mencintaimu, Sakura,"
"Aku juga mencintaimu, Sasuke,"
.
.
.
The End
Read More >>

Kekasihku Menjemputku_Chapter 4

Author: Tania Hikarisawa

Aku menaikkan alisku membaca pesan dari Sasuke. Sebenarnya dia kenapa? Dan lagi, kenapa bisa kebetulan begini? Tadi aku baru saja mengiris potongan tangan ini di bagian pergelangan tangan dan sekarang Sasuke mengatakan tangannya seperti diiris di pergelangan tangan juga. Ke..kenapa? Jangan-jangan.. ah! Tidak, tidak, berhenti berpikir yang bukan-bukan, Sakura. Sebaiknya aku menelepon Sasuke saja, saling mengirim pesan seperti ini rasanya kurang begitu nyaman.
Tapi, baru saja aku akan menghubunginya, dia sudah menghubungiku terlebih dahulu. Aku pun segera mengangkat telepon darinya itu.
"Halo, Sasuke, senang sekali dapat berbicara denganmu," ujarku.
" Hah..hah.." ada apa? Kenapa dia menghembuskan nafas seperti itu? Aneh.
"Halo Sasuke, kau kenapa?"
" Ha..lo Sa..ku..ra," ucap Sasuke. Entah kenapa, aku seperti merasakan atmosfer yang sangat mencekam di sekitarku. Suara Sasuke tiba-tiba saja membuatku merinding.
"Sasuke? Kau kenapa? Apa kau sakit?" tanyaku.
" Ti..dak. Aku ha..nya kedinginan saja. Hah..hah.." lagi-lagi, aku merinding mendengar suara Sasuke. Ada apa sebenarnya.
"Kalau kau kedinginan, sebaiknya kau menggunakan jaket," suruhku.
" Su..dah. Sakura, aku ingin men..ceritakanmu sesuatu,"
"A..pa?" kenapa begini? Kenapa suaraku tiba-tiba saja gemetar.
" Aku pu..nya seorang teman. Suatu malam, dia ber..jalan di tengah malam untuk menemui ke..kasihnya. Malam itu, hujan tu..run dengan sangat deras, jalanan pun dipenuhi ka..but. Dan tiba-tiba saja, ada mo..bil berwarna hi..jau yang melaju kencang ke arahnya–" aku semakin merinding mendegar cerita Sasuke ini. Kenapa dia menceritakan hal ini? Dan kenapa sepertinya cerita ini tidak asing denganku. Ada apa ini? Tubuhku sendiri sekarang ikut gemetar. "–lalu mobil itu me..na..brak dirinya. Tapi, bukannya ber..hen..ti, mobil itu malah melaju semakin kencang dan ban..mo..bil itu me..lin..das tangan kanan orang tersebut hingga pu..tus..hah..hah..dan orang tersebut pun mati saat itu juga,"
Tubuhku semakin gemetar setelah mendengar cerita Sasuke. Cerita ini mengingatkanku akan kejadian yang terjadi sekitar dua minggu yang lalu. Sampai-sampai warna mobil dalam cerita ini pun sama dengan warna mobilku.
" Dan apa kau tahu yang lebih mengejutkan lagi Sa..ku..ra,"
"A..pa Sasuke?" tanyaku gemetar. Bahkan saking gemetarnya, aku dapat merasakan detak jantungku yang sangat cepat.
" Ternyata o..rang yang menabrak temanku itu adalah ke..kasihnya sendiri hah..hah..ini lucu sekali kan Sa..ku..ra, bukan begitu?" tanyanya tetap dengan suaranya yang sejak tadi terus membuatku gemetar.
"A..apa? Sasuke, sebenarnya a..ada a..apa i..ini? Kenapa tiba-tiba kau menceritakan hal ini kepadaku?"
" Aku hanya ingin kau tahu bahwa orang yang kau tabrak dua minggu yang lalu adalah kekasihmu sendiri, Sakura. Orang itu adalah aku, Sasuke Uchiha,"
"UAA.." aku segera melempar ponselku sendiri ke dinding dan membuat ponsel itu hancur berkeping-keping. Ada apa ini? Seluruh tubuhku gemetar, aku merasa merinding seakan-akan ada hantu yang sedang mengejarku. Aku takut, ya, aku ketakutan. Jangan-jangan Sasuke itu benar-benar sudah... Lalu, siapa yang sedari tadi aku ajak bicara?
Grssk, grssk, grssk.
Tiba-tiba saja aku merasakan ada sesuatu yang bergerak di atas pangkuanku. Saat aku melihat ke bawah, ternyata potongan tangan kanan yang akan kugunakan praktek ada di sana. Tangan yang berwarna sedikit kebiruan itu bergerak-gerak di atas pankuanku dan semakin menuju ke atas.
"UAA.." aku pun berteriak sejadinya dan segera berdiri. Tangan itu pun jatuh ke atas lantai. Aku segera berjalan mundur dari tempatku semula. Wajahku terasa basah. Entah sejak kapan aku sudah menangis, aku tidak menyadarinya sama sekali.
CTAR!
Tiba-tiba saja aku mendengar suara petir yang diikuti dengan suara hujan yang sangat deras di luar. Hujan turun lagi, seakan mengingatkanku tentang kejadian yang terjadi sekitar dua minggu yang lalu.
"Hh..hh.." aku semakin ketakutan. Nafasku tersenggal-senggal. Pandanganku terus menatap ke sekitar. Takut, aku ketakutan, aku takut. Tolong, siapa pun tolong aku. Aku benar-benar ketakutan.
Tak!
Lampu flatku tiba-tiba saja mati dan membuat seluruh ruangan gelap gulita. Dan ini membuatku semakin ketakutan. Aku segera pergi ke dekat pintu flatku. Di sana ada lemari kecil tempat aku menyimpat senter. Aku segera mencari senter berwarna kuning yang aku letakkan di sana dulu.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu. Aku segera berhenti mencari senter dan mulai berjalan ke dekat pintu flatku. Semoga saja yang mengetuk pintu ini adalah salah satu temanku di kampus yang sengaja datang untuk bekerjakelompok denganku.
Aku meraih ganggang pintu itu. Dengan sangat berhati-hati, aku mulai membukanya.Dan aku sangat terkejut saat melihat orang yang sekarang berdiri di hadapanku.
"Sa..Sasuke,"
"Ya, apa kabar Sakura?" tanyanya sambil tersenyum.

Next to Chapter 5
Read More >>

Kekasihku Menjemputku_Chapter 3

Author: Tania Hikarisawa

"Tugas kalian memeriksa jaringan kulit yang terdapat di potongan tubuh yang kalian dapat. Kemudian kalian catat dan serahkan hasilnya padaku besok," ujar dosen Tsunade.
Baru saja aku akan memakai sarung tanganku, tiba-tiba saja ada seorang dosen yang masuk ke laboratorium. Kalau tidak salah dosen itu bernama Kakashi Hatake, entah dari fakultas apa. Dia terlihat sedikit berbincang dengan dosen Tsunade sedangkan dosen Tsunade hanya menganggukkan kepalanya.
"Tunggu sebentar semuanya," tiba-tiba dosen Tsunade mengeluarkan suaranya."Hari ini prakteknya saya batalkan. Maksud saya, prakteknya tidak diadakan di laboratorium ini tapi kalian lakukan di rumah masing-masing. Terserah kalian mau bekerja di mana. Diskusikan dengan anggota kelompok kalian masing-masing. Hari ini, saya ada keperluan mendadak," lanjutnya lagi kemudian dia keluar bersama dosen Kakashi dan Shizune. Lagi-lagi seperti ini. Huh! Menyebalkan.
..o0o..
"Hah.." aku menjatuhkan tubuhku di atas sofa empuk yang ada di flatku.
Aku baru saja sampai di flatku sekitar lima menit yang lalu. Hari ini benar-benar menyebalkan. Ketiga temanku itu –Ino, Gaara, Sasori– tidak ada yang mau diajak untuk kerja kelompok. Semuanya mengeluarkan berbagai macam alasan untuk memojokkanku dan sekarang aku berakhir seperti ini. Duduk di atas sofa flatku dengan kardus berisi potongan tangan kanan manusia yang ada di samping sofaku.
Baiklah, sepertinya hari ini pun aku harus bekerja keras. Membuat tugas kelompok sendirian. Ah, benar juga, bagaimana kalau aku menelepon Sasuke? Mungkin bisa sedikit membuatku senang. Aku juga sudah benar-benar rindu dengannya. Sudah dua minggu terakhir ini aku tidak bisa menghubunginya, mungkin saja dia sibuk dengan urusan pekerjaannya.
Aku segera mengambil ponselku. Mencari-cari nama Sasuke di kontakku. Kemudian menekan tombol hijau.
"Dit..dit..dit.." aku dengan sabar menunggu sampai, "Maaf, nomor yang Anda hubungi tidak aktif, silahkan–" akupun segera mematikan panggilan tersebut. Lagi-lagi seperti ini, dia mematikan ponselnya. Sebenarnya ada apa sih?
Tak terasa hari pun sudah semakin malam. Jam dindingku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat.
Tadi aku sempat menghubungi bibi Mikoto guna menanyakan Sasuke. Dan yang dia katakan adalah, Sasuke ternyata sedang adaurusan bisnis di Konoha dengan perusahaan Namikaze. Katanya dia berangkat sekitar dua minggu yang lalu. Dan sekarang pertanyaannya adalah, kenapa dia tidak memberitahuku? Kenapa dia tidak mengunjungiku di flatku? Bukannya dia tahu di mana letak flatku. Apa karena terlalu sibuk dia sampai-sampai tidak bisa menghubungiku? Ahh..sudahlah. Semoga saja alasannya hanya karena dia sibuk. Aku tidak ingin terjadi sesuatu dengannya.
Baiklah, kurasa sudah saatnya aku mulai mengerjakan tugasku. Aku mengambil kardus yang aku letakkan di samping sofaku tadi dan meletakkannya di atas meja ruang tengah. Aku mulai mengambil peralatanku di kamar. Mulai dari sarung tangan, pisau, buku, pulpen dan peralatan lainnya. Aku membentangkan kain di atas meja kemudian meletakkan potongan tangan kanan manusia itu di atasnya. Baru saja aku akan memulai pekerjaanku, tiba-tiba saja ponselku bergetar. Sepertinya ada pesan yang masuk.

-Sakura, maaf, aku baru bisa menghubungimu sekarang.-

Wah, ternyata pesan dari Sasuke. Aku pun segera duduk di atas sofa, menyandarkan punggungku ke belakang sembari membalas pesan darinya.

-Tidak apa-apa Sasuke. Aku senang kau tidak apa-apa. Oh ya, pasti kau sangat sibuk ya? Sampai-sampai tidak bisa menghubungiku.-

Beberapa saat kemudian aku mendapat balasan pesan darinya.

-Sebenarnya aku tidak sibuk. Waktuku kosong sejak dua minggu yang lalu.-

Apa? Dia tidak sibuk? Lalu kenapa dia tidak menghubungiku?

-Kalau tidak sibuk, kenapa kau tidak menghubungiku? Aku merindukanmu, kautahu!-

Aku segera mengirim pesanku tersebut. Beberapa detik ku menunggu, aku mendapatkan pesan baru.

-Itu karena aku mendapat sedikit 'gangguan' dan itu membuat tangan kananku sedikit bermasalah. Sampai sekarang tangan kananku masih terasa sakit.-

Jadi tangannya terluka, aku pikir dia tidak mencintaiku lagi. Aku berpikir terlalu berlebihan. Aku segera membalas pesannya tersebut.

-Kalau begitu sebaiknya kau ke dokter saja, Sasuke. Aku sedikit cemas dengan keadaanmu.-

Aku segera membalas pesan darinya itu. Aku meletakkan ponselku di sebelah tempat dudukku. Sarung tanganku sudah kugunakan. Saatnya memulai tugasku. Sudah lama sekali potongan tubuh di depanku didiamkan begitu saja. Kuambil pisau kecil yang akan kugunakan. Kuiris potongan tangan kanan tersebut di sekitar pergelangan tangan guna meneliti pembuluh darah yang ada di sana.
Drrt! Drrt!
Ada pesan yang masuk ke ponselku, pasti dari Sasuke. Aku melepas sarung tanganku kemudian mengambil ponselku.

-Tenang saja, aku tidak apa-apa. Tadi lagi-lagi, aku merasakan tangan kananku sakit. Seperti ada yang mengirisnya di bagian pergelangan tangan-

Next to Chapter 4
Read More >>

Kekasihku Menjemputku_Chapter 2

Author: Tania Hikarisawa

Semoga saja orang tersebut tidak apa-apa. Tapi, hal tersebut tidak mungkin. Arrgghh..sudahlah. Yang terjadi, biarlah terjadi, aku tidak peduli. Aku cukup pura-pura tidak tahu saja. Lagipula, dalam keadaan seperti ini, mana mungkin ada saksi mata yang melihat? Sekarang, yang kubutuhkan hanyalah mandi air hangat setelah sampai di flat dan pura-pura hal ini tidak pernah terjadi.
Selang beberapa menit, aku pun sudah sampai di flatku. Aku meletakkan mobilku didalam bagasi. Dan kemudian segera masuk ke dalam flatku.
CTAR!
Tiba-tiba saja terdengar bunyi petir yang sangat keras. Semoga itu bukan pertanda buruk. Aku pun segera masuk ke dalam kamar mandi dan bersiap untuk mandi. Dan satu lagi, semoga di mobilku tidak ada noda darah dari orang yang kutabrak. Kalaupun ada, semoga saja noda darah itu sudah hilang karena air hujan. Tuhan, tolong aku. Ampunilah aku. Aku mohon. Terus, kata-kata itu yang aku ulangi di dalam hati. Aku harap tabrakan ini tidak ada orang yang tahu selain aku.
..o0o..
Sudah dua minggu berlalu sejak kejadian tabrakan tersebut. Dan sekarang perasaanku sudah mulai tenang. Aku juga tidak pernah mendengar berita dari tabrakan tersebut.
"Hai, Sakura,"
Tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh salah satu temanku di Universitas Konoha.
"Hai juga, Ino," balasku.
"Hari ini apa kau dapat kelas dosen Tsunade?"
"Iya, bukannya kau sudah tahu itu. Kenapa menanyakannya lagi? Sudah lima kali kau menanyakannya sejak tadi pagi," ujarku sedikit ketus.
"Iya, iya, maaf. Kau tahu sendiri aku selalu takut di kelasnya Tsunade itu," tiba-tiba wajah Ino berubah agak kebiruan seperti orang yang melihat hantu. Aku jadi ingin tertawa melihatnya.
"Melihat mayat tubuh manusia yang kemudian kita potong-potong dengan pisau, lalu melihat bagian dalamnya. Bbrr..itu menakutkan. Belum lagi, kalau kita mendapat bagian menguliti kepalanya arrgg..aku tidak bisa membayangkannya," lanjut Ino sambil mengacak-ngacak rambut pirangnya.
"Hahaha..seperti biasa, kau penakut,"
"Ahh..Sakura, jangan mengejekku. Ini salah satu kelemahanku tau. Pokoknya nanti aku tidak ingin menjadi dokter forensik yang setiap hari berurusan dengan mayat tersebut. Ihh..menakutkan.." ujar Ino lagi.
"Kalau begitu, nanti kau sekelompok denganku saja. Nanti kau kutugaskan untuk mencatat saja, biarkan aku yang mendapat bagian memotong dan mengiris-ngiris beserta menguliti. Bagaimana?" usulku.
"Wah, Sakura baik. Aku bersyukur karena punya teman sepertimu," ujarnya sambil memelukku.
"Iya, iya, sudah hentikan, Ino."
Sekarang aku dan Ino sedang berjalan di koridor kampusku. Tujuan kami adalah laboratorium yang biasa digunakan mahasiswa kedokteran untuk praktek. Dan praktek kali ini adalah mengenai tubuh manusia. Aku sudah berkali-kali melakukan praktek dengan mayat manusia ini. Memang, saat pertama kali melakukannya, aku sangat takut dan badanku terus saja gemetar. Tapi, karena aku sudah sering melakukan praktek seperti ini, aku pun mulai terbiasa dan tidak pernah takut lagi. Memang, senior-seniorku sering bilang kalau arwah dari mayat yang kita gunakan akan terus menghantui kita. Hah! Tapi itu hanya gosip belaka. Mana mungkin di duniaini ada hantu? Benarkan? Tidak mungkin! Dan satu-satunya orang yang percaya akan hal tersebut hanyalah Ino. Ya ampun, lihat, betapa gemetarnya dia sekarang.
..o0o..
"Baiklah, hari ini aku akan membagi kalian menjadi sepuluh kelompok. Satu kelompok terdiri dari empat orang. Ayo, cepat bagi dirikalian!" perintah salah satu dosen kedokteran yang bernama Tsunade.
Aku pun segera bergabung dengan teman-temanku. Aku menjadi kelompok paling terakhir yang terdiri dari aku, Ino, Sasori dan Gaara.
Kami berempat berdiri melingkar di salah satu meja yang ada di laboratorium lengkap dengan mengenakan pakaian laboratorium kami. Aku dapat melihat dosen Tsunade mulai membagi-bagikan potongan-potongan tubuh manusia kepada setiap kelompok dibantu oleh dosen Shizune.
Saat dia mencapai meja kami, tiba-tiba saja dia berbalik mencari Shizune. Sepertinya mereka kehabisan potongan tubuh. Mereka terlihat berbincang-bincang sebentar, entahapa yang mereka bicarakan. Tapi sepertinyadosen Shizune sangat terkejut dengan apa yang diucapkan oleh dosen Tsunade. Memang apa yang ia katakan? Sampai akhirnya aku melihat dosen Shizune mengangguk kemudian dia pergi ke ruangan tempat menyimpat mayat. Beberapa saat kemudian dia kembali sambil membawa sebuah kardus dan ia pun meletakkan kardus tersebut di meja kelompokku.
"Kalian mendapat tangan kanan," ujarnya kemudian pergi.

Next to Chapter 3
Read More >>

Kekasihku Menjemputku_Chapter 1

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Author: Tania Hikarisawa
Warning: AU, OOC, typo, death chara, etc.
Chara: Sakura H. & Sasuke U.
Summary:
Tanpa sengaja, Sakura menabrak seseorang hingga tewas. Dua minggu setelahnya Sasuke menceritakan sebuah cerita kepadanya. Cerita inilah yang menyadarkan Sakura tentang siapa orang yang ia tabrak. Siapakah orang tersebut? Bagaimana nasib Sakura?
.
.
Kekasihku Menjemputku
.
.
.
Sakura's POV
Hari ini tepatnya malam ini, aku baru saja pulang dari Universitas Konoha. Malam ini, hujan tampak mengguyur Konoha dengan sangat deras. Hal itu membuat aku sedikit sulit melihat jalanan dari dalam mobil. Yah, sekarang aku sedang mengendarai mobil mazda keluaran dua tahun lalu. Mobil berwarna hijau ini merupakan mobil yang dibelikan ayahku setahun yang lalu karena aku berhasil menjadi mahasiswi Universitas Konoha Fakultas Kedokteran.
Hampir saja lupa, namaku Sakura Haruno. Gadis yang dilahirkan di sebuah keluarga yang serba berkecukupan. Umurku saat ini sudah sembilan belas tahun. Aku berkuliah di Universitas Konoha dan sekarang aku sedang berada di semester ketiga.
Di Konoha ini, aku tinggal sendirian di sebuah flat yang letaknya tidak terlalu jauh dari Universitas Konoha. Sedangkan keluargaku tinggal di Suna, sebuah negara yang berbatasan lautan dengan Konoha. Sebenarnya, aku juga tinggal di Suna tapi, karena faktor pendidikan, aku terpaksa tinggal sendirian di Konoha tanpa satu pun sanak keluarga.
Sedih memang jika harus tinggal jauh dari keluarga tapi ini semua demi masa depanku. Lagipula, aku masih bisa berhubungan dengan mereka walau aku hanya dapat mendengar suara mereka melalu telepon. Menurutku, hal itu sudah dapat mengobati rasa rinduku terhadap mereka.
Dan satu lagi, aku juga memiliki seorang kekasih yang bernama Sasuke Uchiha. Dia adalah seorang pebisnis di bidang pariwisata dari Suna. Aku sudah mengenalnya sejak umurku lima belas tahun dan tentu saja hal tersebut membuat kami berdua sangat akrab. Walau umur kami berbeda tiga tahun tapi, hal tersebut tidak membuat hubungan kami menjadi buruk. Bahkan, sebenarnya aku sangat senang jika dapat berhubungan dengan lelaki yang berumur lebih tua dariku. Bagiku, lelaki seperti itu terlihat lebih dewasa. Dan hal itulah yang aku lihat ada di diri Sasuke. Dan karena itu pula, aku menerima dia menjadi pacarku. Sesuai rencana, setelah aku selesai dengan pendidikanku di Konoha, aku akan segera menikah dengan dia. Aku benar-benar tidak sabar menunggu hal tersebut. Membayangkan aku dan Sasuke berdiri di depan altar lalu mengucap janji setia kami. Itu seperti hal yang sangat menakjubkan.
Cukup. Sekarang bukan saatnya aku memikirkan hal tersebut. Sebaiknya sekarang aku tetap fokus pada jalanan di depan karena hujan semakin deras belum lagi kabut di depan semakin tebal. Akhir-akhir ini, Konoha selalu dipenuhi kabut pada malam harinya. Kulirik jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Jam 11.45 malam. Ya ampun, sepertinya ini sudah sangat malam. Memang, kegiatanku di kampus, akhir-akhir ini semakin banyak dan hal itu membuatku terus-terusan pulang malam.
Lagi-lagi, hujan turun semakin deras, kabut pun semakin tebal. Jarak pandangku pun menjadi sempit dan pendek. Bahkan lampu mobil di saat seperti ini tidak berguna sedikit pun. Satu hal yang kutahu saat ini adalah aku harus sampai di flatku sebelum tengah malam.
Aku pun mempercepat laju mobilku karena jalanan sepertinya sangat sepi. Memang siapa yang mau keluar pada tengah malam seperti ini? Terus saja kupercepat laju mobilku dengan tetap fokus pada jalanan didepan.
Dan tiba-tiba saja, aku seperti melihat bayangan orang di tengah jalan. Aku pun segera mengerem mobilku berharap kecepatan mobilku berkurang agar aku tidak sampai menabrak orang tersebut. Tapi, sepertinya aku terlambat dalam mengerem dan itu mengakibatkan tabrakan tidak dapat dihindarkan.
BRAK!
Tepat setelah terdengar bunyi tabrakan yang cukup keras, barulah mobilku dapat berhenti. Kepalaku pun sedikit terbentur dengan stir mobilku karena aku mengerem mendadak.
DEG!
Lalu aku pun tersadar, aku sudah menabrak seseorang. Aku su..sudah menabrak se..seorang. Apa? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku pun mulai panik. Sekujur tubuhku mulai gemetar. Bahkan untuk bergerak saja, aku sudah gemetar. Tanpa pikir panjang, aku pun segera melajukan mobilku kembali. Aku tidak peduli apakah orang yang kutabrak itu masih hidup atau tidak. Tapi, aku dapat merasakan kalau tubuh orang tersebut terlindas dengan ban mobilku. Karena saat melaju ke depan, aku merasakan mobilku sedikit terangkat di bagian kirinya.
Aku segera meninggalkan tempat tersebut dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sekarang, aku benar-benar takut. Sungguh, aku sangat-sangat takut.

Next to chapter 2
Read More >>

Senin, 26 Desember 2011

_Sectum Sempra (One Shoot)_ gnr: Horror

Hermione Granger dan Severus Snape milik JK Rowling
Rating M untuk gore, non-lemon, no pair
Setting mengikuti canon, after DH.
Hemofilia diambil dari Wikipedia
Author: Ambudaff
-o0o-
Hogwarts setelah Perang Besar berjalan kembali seperti semula. Anak-anak bersekolah lagi seperti biasa. Dengan pertimbangan bahwa sekolah yang diselenggarakan tahun sebelumnya tidak efektif—dengan adanya kedua Carrows dan semua mantra-mantra Hitam—maka anak-anak kembali pada hitungan kelas pada tahun sebelumnya.
Harry, Hermione dan Ron kelas tujuh. Ginny dan Luna kelas enam. Dan seterusnya. Ditambah dengan kelas satu tambahan, karena anak-anak cukup umur tentunya sudah harus bersekolah juga.
"Apakah kau pikir, ini penyebab lukisan Profesor Snape tidak muncul di kantor kepala sekolah?" cetus Harry saat mereka bertiga sedang bergulat dengan PR yang seolah tak ada habisnya di perpustakaan.
Ron tak jelas menjawab apa karena ia nampaknya masih serius menulis esai. Hermione yang kelihatannya sudah selesai menulis, mengetuk-ngetukkan pena bulunya di meja.
"Mungkin saja," jawab Hermione hati-hati, "—jika tahun kemarin itu tidak dihitung sebagai tahun sekolah, maka Profesor Snape tidak dihitung sebagai Kepala Sekolah, dan karenanya lukisannya tidak otomatis muncul—"
Harry meletakkan pena bulunya.
"Harus ada yang melakukan sesuatu," bisiknya pelan, bersungguh-sungguh. Sedemikian seriusnya hingga Ron pun berhenti menulis, dan menoleh pada Harry. Mata Hermione pun membesar. Mereka saling memandang.
"Harus ada yang melakukan sesuatu," ulang Harry, "dan aku akan melakukannya. Petisi ke Wizengamot, wawancara di Daily Prophet, apapun, walau memerlukan usaha, walau memerlukan waktu yang lama—"
Hening.
Ron dan Hermione diam-diam mengangguk menyetujui.
Masih dalam hening.
Hingga waktu buka perpustakaan selesai, dan Madam Pomfrey sibuk mengusir anak-anak—terutama kelas tujuh—yang masih saja enggan beranjak karena masih banyak yang harus mereka kerjakan. Tentu saja banyak protes di sana sini.
"Madam, aku pegang kartu Restricted—" Hermione berdalih memperlihatkan kartunya. Madam Pomfrey mengangguk tanpa melihat, ia tentu saja tahu siapa Hermione, dan tahu kalau Hermione tidak bisa diusir dari perpustakaan.
Melihat kesungguhan mereka belajar, McGonagall mengeluarkan peraturan bahwa anak-anak kelas tujuh yang memerlukan, bisa meminta persetujuan menggunakan Restricted Section secara permanen. Mereka akan diberi kartu untuk diperlihatkan pada Madam Pomfrey. Tinggal meminta saja pada McGonagall sebagai Kepala Sekolah. Dan kartu itu juga berfungsi sebagai perpanjangan tinggal mereka di perpustakaan, mereka tidak kena aturan jam buka. Kapan pun mereka perlu, tinggal menunjukkan kartu itu di depan pintu perpustakaan, dan pintu itu akan membuka sendiri.
Tentu saja Hermione menggunakan kesempatan ini, sementara Harry masih ragu, dan Ron jelas-jelas mengabaikan kesempatan untuk mengurangi waktu makan dan tidur ini.
"Kau masih akan—" Ron protes melihat Hermione masih saja ingin meneruskan waktu belajarnya.
"Masih ada yang harus kupelajari dari Rune Kuno—" sahut Hermione ringan, "—sudah, kalian kembali saja, dan tidur!"
"Hati-hati," pesan Ron, "kalau malam perpustakaan sering—"
Kalimatnnya terpotong. "Ya ampun, Ron. Yang sering malam-malam ada di perpustakaan kan aku. Aku tahu hantu siapa saja yang suka gentayangan kalau malam, belum lagi Peeves—"
Harry tergelak sebelum terhenti dengan pelototan Ron. "Ya sudah. Sampai ketemu lagi besok, waktu sarapan!" sahutnya sambil terus menyeret Ron keluar dari perpustakaan. Hanya tinggal beberapa orang anak kelas tujuh saja yang masih bertahan, nyaris sama modelnya dengan Hermione, seperti Ernie MacMillan misalnya—
Hermione membereskan buku-bukunya dan pindah ke meja di daerah Restricted Section. Sekarang ia bisa dengan serius membaca buku-buku Rune. Dan Ramuan. Dan Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam. Dan seterusnya. Dari tadi sih, kerjaannya direcoki terus oleh Ron—
Suasana malam semakin terasa, dinginnya udara juga semakin menusuk walau ia berada di dalam ruangan. Hermione sudah menguap beberapa kali. Beberapa temannya yang tadi ikut menjelajahi Restricted Section sekarang sudah tak terdengar suaranya, mungkin malah sudah kembali ke kamar masing-masing?
Hermione menghitung jumlah halaman yang belum ia selesaikan. Masih ada tiga setengah halaman. Tanggung. Ia menguap lagi, dan mencoba berusaha berkonsentrasi kembali.
Tapi udara dingin ini terus menusuk. Tidak, bukan seperti kalau ada serangan Dementor. Dingin yang ini lambat laun menusuk, meresap ke dalam tiap senti kulit dan merasuk ke dalam daging, ke dalam otot, berenang dalam darah—
Hermione menggigil.
Mengalah, ia berhenti membaca walau masih ada sisa.
Ia sudah akan membereskan bukunya, ketika lilin-lilin di sekitarnya mati satu-satu.
Tidak, tidak seperti pelita yang kehabisan minyak. Ini seperti ... ditiup satu persatu.
Tinggal satu lilin di atas mejanya, bergoyang-goyang seperti ditiup angin.
Kecuali kenyataan bahwa dalam ruangan itu angin tidak bisa meniup lilin langsung. Tidak ada pintu langsung, tidak ada jendela.
Hermione berdiri perlahan.
Ia bukan tipe orang yang mudah takut. Lebih cenderung pada rasional mungkin.
Tapi kali ini seperti ada sesuatu—atau seseorang kah?—yang menahan langkahnya. Ia tak bisa bergerak.
Angin berhembus menderu-deru. Bukankah tadi sudah dikatakan, angin tak bisa masuk langsung ke bagian ruangan ini? Tapi Hermione merasakannya, mendengar derunya, dan bahkan rambutnya berhamburan ditiupnya.
Kini satu-satunya penerangan di ruangan itu mati. Terhembus angin yang menderu. Hermione hanya bisa melihat meja dan buku-buku yang menumpuk di atasnya berkat bantuan lilin dari ruangan sebelah. Samar-samar. Temaram.
Dan ia jelas-jelas bukan orang yang penakut. Tapi kali ini, entah mengapa jantungnya berdegup lebih cepat. Lebih keras, atau apakah ruangan sudah sedemikian sunyinya hinga ia bisa mendengar denyut jantungnya dengan jelas—
Lamat-lamat ia merasa seperti ada sesosok makhluk tepat di depannya. Dari samar menjadi semakin jelas.
Awalnya ia mengira ia melihat Dementor. Tapi tidak. Dingin yang menyertai bukan seperti dingin Dementor. Dan makhluk di hadapannya ini tidak melayang, tidak berkemerutuk, tidak menjulurkan tangan untuk mencekiknya—
Makhluk di hadapannya hanya diam.
Berjubah gelap, berkerudung gelap, dan suasana remang-remang, membuat wajah makhluk itu sama sekali tak terlihat. Tapi Hermione entah bagaimana bisa merasakan bahwa makhluk itu sedang menatap tajam padanya. Sedang memusatkan pandangan padanya.
Mengumpulkan semua keberanian, walau yang keluar hanya sebatas bisikan, ia mencoba menyapa, "—Sir—"
Makhluk di depannya tak menjawab, tak mengeluarkan suara sama sekali. Ia hanya menjulurkan tangannya pelan-pelan ke arah tumpukan buku. Seperti menunjuk.
Hermione mengikuti arah tangan makhluk itu. Tumpukan buku, ya, tapi apa maksudnya—
Tangan Hermione mencoba mengikuti arah yang ditunjuk. Ditelusurinya tumpukan buku itu. Aneh. Serasa ada yang membimbing, tangannya terus menelusuri tingginya tumpukan buku itu.
Dan berhenti di salah satu buku.
Hermione berusaha membaca judul buku yang ditunjukkan. Tak berhasil. Ruangan memang remang-remang. Ia berusaha mengingat, buku apa saja yang tadi ia tumpukkan di mejanya. Sepertinya—Arithmancy For Fun? Bukan. Atau—Hermione mendadak terkejut.
Mengangkat wajahnya ia berusaha menatap langsung pada wajah makhluk di depannya. Berusaha mengenali wajahnya.
Tapi makhluk itu perlahan menipis dan menghilang.
Hermione maju untuk mengejarnya, tapi ia harus mengejar ke mana? Berbalik, ia menyenggol lilin di mejanya—
—dan ia terbangun. Lilin di sampingnya, yang tadi tersenggol, memang benar-benar tersenggol dan jatuh. Nyaris saja membakar mejanya kalau saja ia tidak membaca mantra memadamkannya.
Lilin—nyaris membakar meja? Bukankah tadi semua lilin mati?
Ia—bermimpi?
Hermione melihat di sekelilingnya. Lilin-lilin lain masih menyala di tempatnya. Walau memang hanya ia yang masih berada di perpustakaan, tapi suasananya masih terang.
Penasaran ia melihat sekeliling. Tak ada petunjuk bahwa di sekitarnya tadi ada sesosok orang, makhluk, atau apapun. Tak ada angin. Walau udara dingin, tapi tak menusuk seperti tadi.
Di atas meja, di atas tiga halaman buku Rune yang tadi sedang ia coba selesaikan membacanya, tertumpuk oleh sebuah buku.
Moste Potente Potion.
-o0o-
"Kau—kau mencoba mengatakan ada hantu di Perpustakaan?" Ron menatapnya ngeri.
"Perpustakaan memang dari dulu kan memang berhantu, benar kan? Lagipula, kenapa kau takut pada hantu, memangnya kau takut pada Nick dan teman-temannya?" Harry mengoles roti panggangnya dengan selai.
Hermione hanya tersenyum sedikit.
"Bukan 'ada-hantu-atau-tidak' yang kubicarakan. Tapi, hantu siapa yang datang, itu yang sedang aku coba tebak."
Harry dan Ron bersama-sama memandangnya.
"Tadinya aku tak begitu yakin, tapi sekarang rasanya—memang hanya beliau—"
"Beliau?" Harry masih menebak-nebak.
"Menurutmu?" Hermione memamerkan 'Moste Potente Potion'-nya.
"Mak-maksudmu—Profesor Snape?"
Sekarang Harry selalu menyebutnya lengkap dengan sebutan 'Profesor'.
Hermione mengangguk. "Aku asumsikan beliau. Soalnya, hantu siapa lagi yang akan memilih buku Moste Potente Potion?"
Ron dan Harry saling pandang.
"Lalu—menurutmu, pesan apa yang ia sampaikan?"
Hermione menggeleng. "Sampai sekarang masih aku pikirkan. Entah apa maksudnya beliau menampakkan diri di hadapanku, dan memilih buku ini," sahutnya pelan, sambil menerawang. Airmukanya seperti sedang berpikir keras.
Kalau Hermione saja harus berpikir keras, apalagi Ron dan Harry—mana mereka tahu! Jadi mereka hanya mengangkat bahu, membiarkan Hermione meneruskan penyelidikannya.
-o0o-
Malam itu, mereka sudah sibuk lagi di perpustakaan. Malangnya—atau untungnya—Harry dan Ron hanya memerlukan jasa perpustakaan sedikit saja. Hanya beberapa puluh menit, dan pekerjaan rumah mereka sudah selesai. Atau tepatnya, belum selesai tapi bisa dikerjakan di Ruang Rekreasi, karena bahan-bahan dari perpustakaan sudah terkumpul.
"Kembali ke Ruang Rekreasi?" tanya Harry pada keduanya. Ron tak menjawab, tapi buku dan perkamen-perkamennya dibereskan, dan berdiri.
"Kau bagaimana?" tanyanya pada Hermione yang masih berkutat pada beberapa buku dan perkamen yang simpang siur di sisi perkamen yang sedang ditulisnya.
"Duluan saja. Arithmancy ini agak lumayan, masih ada setengah meter perkamen lagi—"
Harry dan Ron tidak mengambil mata pelajaran Arithmancy—dan tidak mau mendengar tentang rumitnya mata pelajaran itu, jadi, "Okey. Kami tunggu di Ruang Rekreasi saja ya!"
Tanpa mengangkat kepala, Hermione mengangguk, dan pena bulunya terus bergerak mengisi perkamennya.
Beberapa jam kemudian, selesai pekerjaan rumahnya, Hermione membereskan buku-buku Arithmancynya. Bersiap untuk menyusul kedua temannya, ketika tersentuh olehnya 'Moste Potente Potion'.
Rasa penasarannya datang lagi.
Ia duduk lagi. Dibukanya perlahan buku itu.
Sebetulnya buku itu tidak termasuk bacaan wajib atau referensi untuk NEWT, tapi kalian tahu kan, seperti apa Hermione. Ia akan membaca buku apa saja yang ia anggap penting. Dan buku ini tadinya ia anggap penting. Ia tidak akan pernah lupa saat-saat ia membuat Ramuan Polijus di kelas dua dulu, dan membuka-buka buku yang ia anggap 'kelas berat' ini.
Sekarang ia membuka-buka buku itu lagi. Sebenarnya ia beberapa kali membaca buku ini. Tetapi, karena formatnya formula-per-formula, resep-resep, tentunya takkan ia baca keseluruhan seperti kalau ia membaca 'Hogwarts, A History'. Kali ini dibukanya halaman-per-halaman. Mungkin ia bisa dapat petunjuk, apa sebetulnya yang diinginkan oleh 'hantu' itu—kalau ia benar-benar Profesor Snape—
Pelan-pelan ditelusuri halaman per-halaman. Berhenti di halaman yang memuat formula Polijus. Formula ini benar-benar sudah dihapalnya sekarang. Apakah—apakah Profesor Snape ingin agar ia membuat Polijus? Tapi untuk apa? Dan yang lebih penting lagi, Polijus untuk meniru siapa?
Hermione tersenyum pahit. Apakah mungkin Profesor Snape ingin agar dia mengaku, siapa yang dulu mencuri bahan ramuan di kelas dua?
Hawa dingin itu datang lagi.
Hermione tertegun.
Hawa dingin. Angin tepatnya. Yang entah bagaimana datangnya, karena ia duduk di tempat terlindung, tak ada pintu, tak ada jendela di dekatnya. Kali ini Hermione lebih waspada dari kemarin. Tetapi tetap saja jantungnya berdetak lebih cepat.
Lilin-lilin di sekitarnya bagai dihembus angin. Lagi.
Remang menyelimuti.
Dingin dan gelap, memang suasana yang tepat untuk membuat jantung berdetak lebih cepat.
Mesti ia tak tahu untuk apa, Hermione menyiapkan tongkatnya. Menggenggamnya erat-erat. Dan memang tak akan ada gunanya karena ia seperti terpaku di tempatnya tatkala bayangan hitam itu mewujud di hadapannya.
Bayangan hitam yang lebih gelap dari keremangan yang melingkupinya. Perlahan terlihat, terasa, semakin padat.
Perlahan Hermione mengumpulkan keberanian, dan mencoba memanggilnya.
"P-Pro-Profesor S-Snape?"
Bayangan itu mengangkat wajah—yang masih saja tak terlihat diselubung kerudung jubahnya. Gerakan halus mengangguknya nyaris saja tak bisa tertangkap mata. Tangan kanannya terangkat lagi seperti kemarin.
Hermione sebenarnya sudah bersiap. Tidak seperti kemarin di mana buku 'Moste Potente Potion' masih dalam tumpukan, kali ini ada di hadapan. Sedang dibuka-buka. Mungkin saja Profesor Snape mau menunjukkan, halaman berapa yang harus ia baca untuk menemukan petunjuk . Petunjuk apa yang ingin dibicarakan oleh Profesor Snape sebenarnya.
Tapi ternyata bukan itu.
Tangan Profesor Snape yang terangkat bukan untuk menunjuk buku. Tangan itu terangkat dengan cepat, mantra yang diucap juga dengan non-verbal, sehingga Hermione tidak sempat menangkap, tak sempat mendengar.
Dan tak sempat juga mengelak.
Sayatan tipis setipis sembilu mengoyak lengan kiri Hermione, mengejutkannya, tak siap menghadapi serangan, dan justru menjatuhkan tongkatnya. Karena tangan kanannya refleks melindungi lengan kiri. Sebenarnya tindakan sia-sia karena sudah terluka.
"Pro-Profesor—"
Sayatan lagi melayang di udara.
Untungnya Hermione cepat bertindak sesuai rasio. Tangan kanan memegangi luka di lengan kiri, mata terus waspada. Dengan mata terpusat pada gerakan halus ujung jari Profesor Snape, ia berhasil menghindari dua sayatan berikutnya, sampai terguling-guling. Tapi begitu ia mencoba bangkit, sebuah sayatan telak pada kaki kanannya, tepat di betis kanan.
Hermione belum pernah menghadapi Profesor Snape, dalam keadaan apapun. Kali ini, ia harus mengakui bahwa Profesor Snape benar-benar penyihir yang piawai. Tapi ia tidak boleh menyerah!
Terengah-engah, sekali lagi ia mencoba bangkit. Ternyata sulit, karena sayatan-sayatan tak berpisau tak berpedang itu menyambar-nyambar di atas kepalanya. Menajamkan telinga, ia berusaha mengangkat kepalanya, dan berakhir dengan sayatan memanjang dari bahu sampai leher kanannya.
Darah bertetesan. Di lantai—di karpet. Di pakaiannya. Pakaiannya juga robek-robek, sebagian karena sayatan, sebagian koyak-koyak saat ia harus berguling-guling menghindar tadi. Bukan hanya bertetesan, lama-lama darah mengucur.
Dan perih. Di kaki. Di lengan. Di leher. Horor menyelimutinya tatkala ia sadar bahwa sayatan di leher hanya beberapa mili saja jauhnya dari urat nadinya!
"Prof-Profesor?"
Profesor Snape berhenti menghujaninya dengan sayatan.
Ia menurunkan tangannya. Bahkan menyerang tanpa tongkat, hanya dengan telunjuknya!
Tak mengeluarkan suara apa-apa. Tangannya diturunkan hingga berada di samping paha, seperti biasa kalau sedang berdiri.
Dan pelan-pelan wujudnya memudar, menghilang.
Tersengal-sengal Hermione mencoba bangkit, namun sulit. Ia bahkan terpuruk, terkurap di lantai—
—sekali lagi ia mencoba bangkit. Mengangkat kepalanya—akh! Tidak!
Tidak.
Ia tidak sedang tengkurap di lantai! Ia tertidur di meja, tertelungkup di atas perkamen tugas Arithmancy-nya, di atas buku 'Moste Potente Potion' yang setengah terbuka, setengah terlipat.
Bergegas Hermione berdiri, dan memeriksa daerah-daerah yang tadi terkena sayatan.
Tidak ada luka. Tidak ada darah di mana pun. Tidak ada pakaian yang terkoyak.
Mengejutkan.
Apakah—ini benar hanya mimpi?
Setengah shock karena serangan tadi, Hermione membereskan buku dan perkamennya. Sempat dilihatnya, bagian buku Moste Potente Potion yang terlipat adalah bagian Venom.
Bisa ular?
Tapi Hermione bersiap beranjak dari perpustakaan. Seluruh tubuhnya sakit-sakit, ngilu, seperti habis benar-benar bertarung. Besok saja akan ia pikirkan—
Setapak demi setapak ia berjalan, berhenti sejenak mengumpulkan kekuatan, hingga akhirnya ia bisa berjalan seperti biasa. Berkeliling memandang perpustakaan, benar-benar sudah larut malam karena sudah tak ada siapa-siapa.
Berjalan menyusuri koridor, masuk ke depan asramanya. Serasa perjalanan berkilo-kilo meter. Akhirnya ia menyebutkan kata kunci di depan Nyonya Gemuk.
"Sudah larut," sapa Nyonya Gemuk. Nyaris ia menambahkan "—darimana saja selarut ini," tapi tak jadi. Tumpukan buku dalam pelukan plus ransel di punggung sudah menyatakan sendiri dari mana Hermione berasal.
Hermione hanya menjawab dengan senyum lemah, dan memanjat masuk susah payah tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Masuk ke kamarnya, menjatuhkan ransel di lantai, menumpukkan buku begitu saja di meja samping ranjang, ia mengambil keputusan untuk mandi dulu saja. Air hangat mungkin bisa menyegarkan.
Jadi ia berjalan ke kamar mandi, memutar keran air panas dan air dingin sekaligus, membuka pakaiannya, dan masuk ke dalam bath tub.
Hampir saja ia menjerit.
Mimpi yang tadi serasa begitu nyata! Di seluruh tubuhnya tak ada bekas sayatan, itu yang membuat ia yakin bahwa peristiwa tadi hanya mimpi. Tapi begitu masuk ke dalam bath tub, perih yang sangat menjalar dengan cepat. Tepat di bagian-bagian yang—ia yakin—terkena sayatan mantra Profesor Snape tadi.
Sambil menggigit bibir, Hermione berusaha mandi dengan cepat. Sudah terlanjur basah sih. Menggosok seluruh tubuh dengan foam, menenggelamkan diri di bath tub hingga seluruh busa sabun lenyap, ia keluar dan menghanduki tubuhnya. Perlahan, karena tiap sentuhan menambah perih.
Dengan cepat dipakainya mantel kamar mandinya, keluar dari bath tub. Digantinya dengan piama, dicarinya salep di lemari kamar mandi, dan ia keluar dari kamar mandi.
Duduk di ranjang, ia menutul-nutulkan salep di bagian yang ia yakin tadi merupakan luka akibat sayatan. Mungkin tidak tepat, tapi pokoknya di sekitar itu saja. Ia mencari tongkatnya, mengayunkannya mencipta segelas susu hangat, meminumnya, dan berusaha tidur secepatnya.
-o0o-
"Yang benar?" Ron melongo, sosis yang ditusuknya berhenti di udara, begitu pada saat sarapan Hermione mengutarakan 'mimpi'-nya.
"Dan itulah anehnya. Kemarin malam, aku merasa mimpi, dan ternyata buku 'Moste Potente Potion' sudah ada di hadapanku. Padahal, tadinya aku yakin, buku itu ada di tumpukan bagian tengah. Lalu, tadi malam aku merasa bermimpi diserang olehnya. Begitu bangun, tak ada bekas sama sekali, tapi waktu aku mandi, perih sekali di bagian-bagian yang tersayat itu—"
"Sayatannya seperti disayat pedang, Hermione?" Harry seperti sedang mencoba memikirkan sesuatu.
Hermione mengangguk.
"Pagi ini masih terasa?"
"Masih. Walau tidak seperih tadi malam—"
"Darahnya mengucur?"
Hermione mengangguk lagi, "—darah mengucur seperti luka terbuka, bukan lecet—"
"Sectumsempra—"
"Apa—mantra itu?"
Harry mengangguk. "Ya, mantra yang ada di buku Ramuan Half-Blood Prince itu. Aku pernah melihatnya, dan pernah memakainya—"
Hermione seperti merenung. Tangannya membuka-buka Moste Potente Potion. Dan ada bekas terlipat, karena tadi malam tertindih olehnya saat ia 'bermimpi'.
Dibukanya bagian itu.
Venom. Ya, bagian yang tadi malam sempat diabaikan karena perihnya luka-luka.
Bisa ular?
Kening Hermione bertambah kerutannya.
Harry memecah keheningan. "Jadi, 'hantu' itu memang—"
Hermione mengangguk. "Aku bertanya apakah ia memang Profesor Snape, dan makhluk itu mengangguk. Tanpa bicara apa-apa, ia langsung menyerang, serangan yang serupa sayatan-sayatan itu—"
"Tanpa tongkat?" Ron bengong.
Hermione mengangguk lagi, "—tapi aku tak heran, beliau kan memang ahli mantra non-verbal—"
Harry nampak kembali berpikir. Pelan-pelan ia menggerakkan garpunya, menusuk sosis dan mencelupkannya pada saos tomat, tapi sama sekali tidak dimakan.
Hermione juga meletakkan garpunya, minum dari piala, dan mendorong piala itu ke tengah meja, hingga cukup tempat untuk kedua tangannya, memain-mainkan jari-jarinya, "—sebenarnya apa sih, yang beliau upayakan untuk diberitahukan pada kita?"
Harry menggeleng. "Aku juga tak tahu. Nanti malam, saat kita mengerjakan pekerjaan rumah di perpustakaan, kita tunggui bersama-sama."
"Oke."
Ron juga menyetujui, walau nampak ogah-ogahan.
"Sekalian aku juga ingin mencari penangkal Sectumsempra—" sahut Hermione, bersemangat kalau sudah urusan riset begini.
"Kurasa tak akan ada. Ingat waktu George kena telinganya, ibunya Ron mencari-cari di buku pengobatan—"
"Harry, waktu itu Mrs Weasley mencari di buku pengobatan rumah tangga, mungkin saja tak ada, tapi ini kan perpustakaan sekolah! Kemungkinan akan ada, walau bukan penangkal langsung, mungkin penangkal akan gejala serupa—"
Harry terpaksa mengangguk.
"Oke, sekarang, siap masuk kelas?"
Hanya Hermione yang bisa bersemangat begitu untuk masuk kelas, walau malamnya baru diserang sampai berdarah-darah.
-o0o-
Tapi malamnya, mereka menunggu hingga lewat jam malam, tak terjadi apa-apa. Ron sudah mengantuk, dan ia disuruh tidur saja oleh Hermione. Harry, yang dibela-belain minta kartu Restricted Section pada McGonagall agar bisa begadang di perpustakaan, juga sampai terkantuk-kantuk.
Tak ada kejadian apa-apa.
Hanya ada beberapa meter perkamen catatan yang dikumpulkan oleh Hermione, mengenai menangani luka sayat yang tak mau menutup. Sambil menunggui 'hantu'itu datang, Hermione tak mau diam, membaca berpuluh buku pengobatan tentang luka, mencatat bahan ramuan obatnya berikut kesimpulan-kesimpulannya.
Jam tangan Harry sudah menunjukkan pukul 03.35.
"Kau pikir, ia akan datang?"
Pelan Hermione menggeleng. "Suasananya—dua kali beliau datang, aku bisa merasakan. Tidak seperti sekarang—"
Malam itu memang hangat. Boro-boro terasa dingin. Harry sampai melepas jaketnya tadi dan menggantungnya di sandaran kursi.
"Ya sudah. Kita tidur saja," Harry berdiri dan memakai lagi jaketnya. Hermione mengikuti, membereskan perkamen dan buku-buku. Lalu mereka keluar dari perpustakaan.
Malam itu tak ada peristiwa apa-apa. Bahkan sampai dini hari.
-o0o-
Kalaulah Hermione hanya mengikuti mata pelajaran seperti Harry dan Ron, sudah barang tentu akan ada banyak waktu kosongnya. Tapi Hermione bukan Hermione jika seperti itu. Selain mata pelajarannya lebih banyak, ia sekarang malah sedang me-riset tentang luka terbuka yang tak mau menutup.
"Kau ini sedang apa sih?" Ron merasa terganggu karenanya. Sudah tadi malam tidur jauh lebih larut, Hermione bangun lebih pagi dan membaca perkamen catatan hasil rangkumannya di Ruang Rekreasi sampai waktu sarapan pagi. Belum lagi, sambil sarapan, Hermione masih terus membaca perkamen itu.
Ron merasa seperti melihat lingkaran tipis di bawah mata Hermione.
"Hm?" Hermione mengalihkan pandangan pada Ron sejenak, "—kalian akan latihan Quidditch kan?"
Ron merasa diacuhkan, tapi tetap saja mengangguk, begitu pula Harry.
"Kenapa memangnya?" Harry menghabiskan telur di piringnya.
"Aku tidak ikut menonton ya?" sahutnya, menyelesaikan sarapannya dengan cepat, menghabiskan jus labu kuningnya, dan menggulung perkamen panjangnya itu.
"Kau mau ke mana? Perpustakaan lagi?" desak Ron.
"Yaps," sahut Hermione, "tapi bukan Perpustakaan Hogwarts. Aku mau minta ijin pada McGonagall untuk ke luar, ke dunia Muggle. Ada sesuatu yang kuharap bisa kucari di perpustakaan Muggle—"
Ron masih melongo, tapi Harry menepuk bahunya, "Cepat selesaikan sarapanmu, kita latihan, dengan atau tanpa Hermione kan sama saja—"
Hermione melempar senyumnya pada mereka berdua, mencium pipi Ron sekilas, dan berjalan cepat sekali ke luar Aula Besar.
-o0o-
"Muuum!" Hermione memanggil. Rumah tidak dikunci, berarti penghuninya sedang ada di rumah, tapi di rumah utama tak ada siapa-siapa.
"Muum!" Hermione memanggil lagi sambil menujukan langkahnya ke paviliun. Mum dan Dad-nya buka praktek di rumah, dan ruangan praktek terpisah di paviliun. Agar tidak mengganggu kegiatan keluarga di rumah utama.
Mrs Granger melongok dari pintu. "Ow! Hermione! Tumben kau pulang—"
"Mum!" Hermione memasang wajah cemberut, "—ya sudah, aku balik lagi saja ke Hog—"
Tawa Mrs Granger renyah tatkala memeluk anaknya erat-erat. "Ya ampun, kau ini! Mum kan cuma kaget, kau pulang tidak dalam waktu biasa. Mana nggak memberi kabar lagi—"
Hermione ikut tertawa. "Ya, maaf kalau aku tidak memberi kabar. Buru-buru. Aku mau mencari sesuatu di perpustakaan Muggle—"
Wajah Mrs Granger berubah. "Memangnya kenapa? Apa ada sesuatu yang tidak bisa dicari di perpustakaan Hogwarts?"
Hermione mengangguk. "Dad mana?"
Mrs Granger menunjuk ke dalam, ke ruang praktek, dengan dagunya. "Ya sudah, aku punya fruitcake dengan gula sintetis kalau kau mau. Istirahat dulu, nanti baru ke perpustakaan publik—memang tujuanmu ke sana?"
Hermione mengangguk lagi, dan mengikuti langkah ibunya ke dapur. "Memang Dad ada pasien, Mum? Biasanya Sabtu-Minggu libur?"
"Ada pasien darurat," sahut Mrs Granger. Dulu yang disukai Hermione pada profesi ayah-ibunya adalah, mereka dokter, tapi bukan dokter yang dikejar-kejar kondisi pasien walau di hari Natal sekalipun. Dokter gigi tidak harus bertanggungjawab atas hidup-matinya seseorang kalau lebih memilih libur tahun baru kan? Tapi kali ini?
"Pasien darurat?" tanya Hermione tercengang, "—baru kali ini aku mendengar dokter gigi punya pasien darurat?"
Mrs Granger tertawa melihat airmuka Hermione, sambil menyorongkan sepiring fruitcake. "Ya ada sajalah. Anak itu penderita hemofilia. Jadwalnya Senin besok dicabut gigi. Tapi, dokter gigi sebelumnya, tak mau mencabut giginya lagi, karena yang terakhir saja terjadi pendarahan tak henti-henti. Saat itu mereka belum tahu bahwa si anak menderita hemofilia. Dalam peristiwa cabut gigi itu, si anak dibawa ke rumah sakit. Dan setelah pemeriksaan menyeluruh, baru ketahuan bahwa si anak menderita hemofilia."
"Jadi, orangtuanya ingin anaknya dicabut gigi oleh Dad?" tanya Hermione sambil memotong fruitcake-nya.
Mrs Granger mengangguk. "Mungkin merasa Dad dokter gigi yang lebih baik. Padahal, dokter gigi terbaik sekalipun, kalau mau mencabut gigi penderita hemofilia, hanya bersedia di rumah sakit dengan fasilitas lengkap. Nggak akan mau di ruangan praktek di rumah—"
Hermione menelan cepat-cepat potongan kue yang ada di mulutnya sebelum meneruskan bertanya, "—hemofilia itu apa ya, Mum?"
Mrs Granger tertawa kecil. "Kau kan yang mau ke perpustakaan, cari sendiri di sana!"
"Aaah, Mum! Ayolah, preview sedikit dari dokter Jane Granger—"
Lagi-lagi Mrs Granger terkekeh. "Dasar anak sok tahu—"
"Siapa dulu ibunya. Dan siapa juga bapaknya—" Hermione nyengir.
"OK," Mrs Granger menyerah, "—singkat saja ya? Hemofilia itu penyakit yang menyebabkan darah sukar membeku. Hemofilia A terjadi karena kekurangan faktor VIII, lebih umum ditemukan, sedang Hemofilia B kekurangan faktor IX, agak jarang ditemukan. Hemofilia lebih sering ditemukan menyerang anak laki-laki—"
"—kenapa?"
Mrs Granger menjitak sayang anak satu-satunya ini, "—karena itu adanya di kromosom X, sayang, dan laki-laki hanya punya satu kromosom X, dibandingkan perempuan yang kedua kromosomnya X. Masa' pelajaran Muggle seperti itu bisa kau lupakan?"
"Hihi," Hermione terkikik. Bisa-bisanya dia lupa, padahal dulu dia paling suka membaca-baca semua buku Mum dan Dad-nya sambil terus bertanya. "OK, jadi menyerang kromosom X, dan perempuan punya back-up-nya. Membuat luka mengeluarkan darah terus menerus ya?" sahut Hermione, dengan gaya seperti cuek, padahal benaknya sudah mencatat terus menerus.
"Makanya. Dad tak mau ambil resiko mencabut gigi si anak di sini, dan sedang membujuk mereka agar cabut gigi Senin besok saja di rumah sakit—"
"Ada apa ya, panggil-panggil nama Dad?"
"Daaad!" Hermione langsung berdiri begitu mendengar suara ayahnya, dan memeluk erat.
"Ada apa dengan kutubuku Dad ini, kenapa mendadak pulang begini?"
Hermione memasang wajah cemberut ketika lagi-lagi ayahnya menyambut dengan ucapan sejenis, tapi ia tak bisa lama. Tentu saja ia tak akan bisa cemberut lama di hadapan ayahnya!
Bercakap-cakap hingga Mrs Granger 'mengusirnya' halus agar segera ke perpustakaan, sedang Mrs dan Mr Granger akan 'berkencan' berduaan dengan mengikuti seminar di sebuah gedung pertemuan.
Dan hari itu nyaris berakhir seperti biasa, kecuali saat Hermione tiba-tiba menyadari sesuatu, saat ia masih menyortir beberapa buku dan data.
Dan ia ber-Apparate ke Manchester.
-o0o-
Waktu makan siang dan makan malam hari Sabtu, Harry dan Ron tidak bertemu dengan Hermione. Esoknya waktu sarapan, masih saja mereka tidak bertemu. Waktu makan siang, Harry menanyakannya pada Ginny.
"Ia pulang sejenak ke rumah orang tuanya. Paling juga nanti malam ia sudah kembali," jawab Ginny menenangkan.
"Pulang ke rumah orang tuanya?" Ron terlihat cemas.
Tapi Harry menepuknya, "Bukankah kemarin ia bilang mau mencari bahan di perpustakaan Muggle? Tentu saja ia pulang ke rumah orangtuanya."
Ron mencoba tenang, walau masih sedikit nampak cemas.
Saat makan malam, di awal Hermione masih belum datang. Di tengah-tengah makan, barulah ia datang, masih lengkap dengan mantel bepergian dan ransel yang sepertinya berat. Diturunkannya ransel itu, ditaruh di sebelah kursi, duduk tanpa membuka mantel, ia mulai mengisi piringnya.
"Bagaimana?" tanya Ron. Sekarang wajahnya lebih tenang.
"Banyak hasilnya," Hermione melirik ranselnya. "Kufotokopi saja halaman-halamannya akhirnya, kalau kupinjam bukunya pasti lebih ribet membawanya, belum lagi aku tak yakin bisa membawa buku Muggle ke Hogwarts—"
"Fotoko—" Ron bingung.
"Menduplikasi halaman buku," sergah Harry.
Ron nyengir sambil menggaruk-garuk kepala tak gatal.
Selesai makan malam mereka kembali ke Ruang Rekreasi. Hermione menyimpan mantel dan membuka ranselnya. Mereka sudah memilih duduk di sudut meja, yang tidak bisa didengar leluasa oleh anak lain.
"Harry, seingatmu, apakah Sectumsempra pernah digunakan pada perempuan?" tanya Hermione sebelum yang lain sempat bertanya apa-apa.
Harry berpikir sejenak sebelum akhirnya menggeleng pelan-pelan. "Yang aku tahu, Snape pernah salah menggunakan, untuk Pelahap Maut, jadi kena ke George. Lalu—" Harry seakan salah tingkah, "aku pernah memakainya pada Draco—"
Hermione mengangguk pelan, "—dan hasilnya darah yang banyak?"
Harry mengangguk.
"Lama tak berhenti?" Hermione mendesak.
Harry mengangguk lagi. Wajahnya bertanya-tanya.
"Dan, Profesor Snape tahu cara menghentikannya?"
Lagi-lagi Harry mengangguk.
"Kemarin malam itu, rupanya benar aku dikenai mantra Sectumsempra," Hermione mengeluarkan kertas-kertas fotokopiannya. "Semula aku tak yakin, karena darah yang mengucur tidak terus-menerus. Lalu, saat aku mandi, di mana aku tak melihat bekas-bekas luka sama sekali, aku merasa perih, sama seperti kalau aku punya luka di bagian itu—perih. Perih sama seperti luka kecil disiram air. Jadi, katakanlah aku di-Sectumsempra dalam 'mimpi'—" Hermione mengangkat kedua tangannya, dua jari dari tiap tangan membentuk tanda kutip, "—dalam kenyataannya, aku merasakan seperti luka kecil, bukan luka terbuka dengan darah tak berhenti. Jadi—"
Hermione menyisihkan beberapa lembar fotokopian, "—kebetulan pas aku datang, di ruang praktek Dad ada seorang anak yang akan dicabut giginya." Hermione menarik napas sejenak, memberi waktu untuk Ron dan Harry menyusun informasi yang didapat dari Hermione barusan.
"Dad bilang, anak laki-laki itu adalah seorang penderita hemofilia." Hermione berhenti menyisihkan kertas-kertas. Bersikap seperti seorang ibu guru, ia memberi keterangan pada kedua anak muda di depannya, "Hemofilia itu penyakit yang menyebabkan darah tidak dapat membeku jika ada luka. Kebanyakan ditemui pada pasien laki-laki. Pasien Dad itu diketahui penderita Hemofilia, dan Dad menyatakan tidak bisa mencabut giginya. Harus di rumah sakit—"
"Kenapa—"
"Karena kalau Dad mencabut giginya, nanti darah yang keluar tidak bisa berhenti. Ia bisa mati hanya karena mencabut gigi. Di rumahsakit ada sarana untuk merawatnya. Oke, kembali ke persoalan kita tadi. Aku merasa ada persamaan antara Sectumsempra dengan Hemofilia, yaitu sekali darah keluar, sulit untuk berhenti. Sectumsempra baru bisa dihentikan dengan mantra-penangkal yang dibuat juga oleh Profesor Snape. Ibumu saja kesulitan menghentikan darah yang keluar, dan bahkan tak bisa mengembalikan telinga George—"
"Lalu—"
"Lalu, makanya aku tanya padamu, Harry, apakah Sectumsempra pernah dipakai untuk korban wanita? Harry bilang belum pernah dengar. Aku lihat lagi kesamaan antara Sectumsempra dan Hemofilia: korbannya pria. Wanita tak terpengaruh banyak."
"Mengapa demikian?" Ron masih saja bingung.
"Begini," Hermione membuka salah satu fotokopiannya, "—dalam ilmu biologi Muggle, laki-laki itu kromosomnya XY, dan wanita XX. Oh, tidak usah bingung memikirkan kromosom, sebut saja 'seberkas DNA yang sangat panjang dan berkelanjutan'," Hermione nyengir melihat wajah bingung Ron.
"Hemofilia ini menyerang kromosom X. Wanita tidak terpengaruh, atau jarang sekali yang terpengaruh, karena ia punya dua kromosom X. Kalau satu kromosom terkena, maka yang satu bisa menutupi—menjadi back-up—bagi yang lain. Kecuali kalau dua-duanya terkena. Sedang laki-laki, karena kromosom X-nya hanya satu, sekali terkena maka penyakitnya akan keluar—"
"Dan persamaannya dengan Sectumsempra—"
"Aku menduga—" Hermione berkata pelan-pelan seolah mengeja, "—Sectumsempra dibuat dengan prinsip Hemofilia. Walau—" ia menghela napas, "—kemungkinan banyak salahnya dalam penarikan kesimpulan—"
Hening sejenak. Pelan Harry menyahut, "—lalu, apa yang diinginkan Profesor Snape dengan merapal Sectumsempra pada Hermione?"
Pelan juga Hermione menggeleng. "Aku juga belum tahu. Malam ini, aku akan berusaha mencari tahu—"
"Hermione—" Ron terlihat cemas lagi, "—bagaimana kalau dia berusaha membunuhmu?"
Hermione menggeleng, kali ini lebih tegas, "Kau sudah mengerti kan? Sectumsempra pada pria, dan kau bisa membunuhnya. Sectumsempra pada wanita, kau hanya akan menakut-nakuti. Beliau sedang berusaha memberi pesan, Ron, dan pesan itu ditujukan padaku. Ingat, waktu kalian ikut menunggu? Beliau tak muncul."
Harry mengangguk menyetujui. "Hati-hati, Hermione!"
Hermione mengangguk. Ia membereskan fotokopian ke dalam ransel, menambahkan dengan beberapa buku dan beberapa gulung perkamen. Ia berdiri. "Oke, aku ke perpustakaan dulu! Sampai jumpa besok, saat sarapan!"
Ron memandang Hermione sampai ia lenyap di balik lukisan pintu, lalu setengah bertanya pada Harry, "—kau pernah melihat dia tidur tidak, sih?"
-o0o-
Hermione meletakkan buku-buku, perkamen, dan kertas-kertas fotokopiannya di atas meja. Ia duduk dan mulai membaca, sebentar menyalin, membaca lagi. Malam mulai larut, dan dingin mulai menemani.
Dingin yang hadir perlahan mulai harus diwaspadai. Hermione melihat berkeliling. Ia berani bersumpah, ia sama sekali tak merasa kalau ia sedang tertidur, tapi dalam dua kali penampakan Profesor Snape, selalu berakhir dengan Hermione seolah baru bangun dari tidur. Jadi, bagaimana dengan kali ini?
Wujud gelap berjubah hitam itu muncul perlahan. Kali ini, wajahnya nampak walau remang-remang.
Entah mengapa, rasa gentar tetap saja ada.
"Profesor Snape," Hermione berusaha menyapa, sedikit gemetar.
Wujud itu mendekat.
Hermione berusaha menepis keinginan untuk menggenggam tongkat sihirnya. Sedari tadi, tomgkat sihirnya diletakkan saja di atas meja, secara mencolok, agar jelas terlihat bahwa ia tidak bermaksud bertarung.
Tanpa peringatan, satu sayatan melayang di udara, mengenai bahu kiri. Hermione berusaha mengelak, tetapi terkena juga. Sambil memegang bahu, Hermione mencoba berbicara, walau ternyata bicara juga sulit dalam suasana seperti ini. Hermione merasa seperti anak gagap!
"Sir—"
Satu sayatan berhasil dihindari. Hermione mengelak dengan merendah, dan ia kembali tegak selangkah di samping.
"S-Sec-Sectumsempra ti-tidak akan berakibat fatal pada wanita, betul kan, Sir?"
Wujud itu berhenti melontarkan mantra.
Memandang Hermione dalam-dalam, agak lama, sebelum ia mengeluarkan suara. "Kau sudah menelitinya."
Suaranya persis seperti suara Profesor Snape, hanya bergaung, seolah disuarakan dari dasar sumur.
Menjadi lebih berani, Hermione maju, masih memegangi bahunya yang mengucurkan darah, "—Anda setengah Muggle kan? Anda tahu penyakit Hemofilia—"
Wujud Profesor Snape itu menyipit matanya, kemudian ia berteriak, suaranya bergema jauh dan dalam—
"Atau—" Hermione bergeming, mencoba berspekulasi, "—justru Anda yang terkena Hemofilia?" Hermione maju lebih dekat lagi, "—ingat saat Anda digigit anjing berkepala tiga di tahun pertama saya? Anda sampai terpincang-pincang begitu, padahal gigitannya tidak begitu parah. Itu karena Anda harus kehilangan darah yang sangat banyak. Kalau Anda tidak menderita Hemofilia, ini tidak akan terjadi, bukan? Sedikit Ramuan saja akan bisa menghentikan pendarahan di kaki itu, betul?"
Wujud Snape itu tangannya menggenggam sangat erat. Seperti amarah yang tertahan.
"Sebagai ahli Ramuan, Anda punya Ramuan-Ramuan untuk menghentikan pendarahan, bukan? Tetapi itu pendarahan biasa, bukan pendarahan akibat Hemofilia! Pendarahan yang sulit berhenti, karena darah sulit membeku," Hermione merasa makin berani.
Melirik sedikit ke arah tumpukan kertas fotokopian, "Dan itu saya rasa juga yang membuat Anda sangat membenci ayah Anda: dialah yang menurunkan penyakit itu! Betulkah?"
Hermione bergeser sedikit ke arah meja, menarik selembar kertas fotokopian. Dan meletakkannya sedemikian hingga wujud Profesor Snape bisa melihatnya dengan jelas.
MANCHESTER HAEMOPHILIA CARE CENTER
Oxford Place
Manchester, Lancashire M14, United Kingdom

Nama Pasien: Tobias Snape
Meraung sekerasnya, wujud Profesor Snape membabibuta melepas sayatan-sayatan ke sana ke mari. Hermione berusaha menghindar, akan tetapi ia terkena juga beberapa. Tapi ia tak melawan, hanya sekedar menghindar, menghindar, dan menghindar. Darah sudah mengucur dari bahu, lengan, leher, kaki, bahkan ada yang dari punggung.
OK, bertahanlah, Hermione, pikirnya dalam hati. Kau tahu bahwa ini tak membahayakanmu. Kau tahu bahwa esok paling kau hanya akan sedikit pegal-pegal, dan perih kalau kau mandi. Bertahanlah, biarkan beliau mengamuk sedikit. Biarkan saja ia melepas emosinya.
Benar saja. Dalam waktu beberapa menit, Profesor Snape berhenti melepas mantranya. Terengah-engah. Menunduk. Terkulai. Dan runtuh terduduk.
Masih waspada, Hermione mendekat. "Sir—" sahutnya pelan. Ia duduk di depannya.
Profesor Snape menengadah.
"Anda membuat Sectumsempra sebagai pelampiasannya, bukan? Membuat orang lain merasakan penderitaan yang sama dengan Anda? Anda membuat Sectumsempra dengan karakteristik seperti Hemofilia, bukan? Membuat seorang laki-laki terluka, lukanya terbuka, dan sulit untuk disembuhkan, tapi ternyata tidak berlaku pada seorang wanita—"
Pandangan Hermione tajam menusuk. "Karena ibu Anda tidak mewariskan penyakit pada Anda, ia justru melindungi Anda, ia merawat Anda—"
Tak ada suara, tapi Hermione mengerti. Airmuka gurunya sudah mewakili segalanya.
"Kenapa harus aku—" sahut Profesor Snape pelan, berbisik. "Kenapa harus aku—" dan beliau menunduk lagi, tersengguk.
Hermione terdiam. Dengan segala beban yang harus dipikulnya, penyakit Muggle ini menambah berat segalanya. Hermione tak habis pikir, bagaimana bisa seorang Severus Snape menahannya sampai sekian lama?
Jadi itu yang membuatnya pucat, ia bukan seorang vampir seperti kata gosip, tapi ia kehilangan banyak darah dalam banyak kejadian, karena Hemofilia. Beruntung ia penyihir, ia bisa menghentikannya untuk sementara dengan berbagai mantra dan ramuan—tapi kita tak bisa menyembuhkan penyakit hanya dengan menyembuhkan gejala, bukan? Kita harus menemukan sumbernya, dan mengobati dari sana, bukan?
Hermione mengulurkan tangannya yang tak dibasahi darah, menyentuh bahu gurunya.
"Sir—"
Profesor Snape mengangkat wajah.
"Jika Anda percaya takdir—jika Anda bertanya mengapa Anda diberi penyakit ini, Anda harus percaya bahwa Anda, memiliki daya tahan yang luar biasa dalam menghadapinya1). Karena Anda bisa—"
Profesor Snape terdiam.
Hermione memberanikan diri lagi, "—dan apakah itu yang membuat Anda membenci ayah Anda?"
Profesor Snape mengangguk pelan.
"Bukankah dia juga hanyalah seorang korban? Dia juga penderita hemofilia kan?"
Masih terdiam.
Beberapa tetes darah dari bahu Hermione menetes lambat ke atas punggung tangan Profesor Snape, dan beliau mengangkat wajah lagi.
"Dan apakah gunanya itu?" Hermione bertanya pelan. Darah di bahunya rupanya sudah mulai mengental, sudah menuju pada pembekuan darah. "—hanya untuk membalas dendam pada ayah Anda, yang sudah menurunkan penyakit ini? Tidakkah Anda merasa, bahwa ayah Anda juga sebenarnya frustasi atas peyakit ini?"
Defense Mechanisme, pikir Hermione tatkala memikirkannya tadi. Denial. Pengingkaran.
Tatapannya tajam menembus, tapi Hermione memutuskan untuk tetap bertahan. "Tapi Anda tidak berhenti pada frustasi saja, kan? Anda dikaruniai intelegensia, kenapa harus berhenti dengan frustasi? Dengan melampiaskan amarah pada semua yang berada di bawah level Anda? Anda bukan hanya anak ayah Anda, tetapi Anda juga anak ibu Anda, benar?"
Rupanya perkataan Hermione mulai merasuk masuk ke dalam rasio Profesor Snape. Ia masih tetap terdiam, matanya masih memandang tajam pada Hermione, tapi Hermione merasakan, mata itu mulai jinak.
"Kalau Anda—kalau Anda bisa membuat mantra dengan basis Hemofilia, kenapa tidak membuat penawar Hemofilia itu sendiri? Anda berada di dua dunia, Anda bisa mencari di dunia Muggle, bisa mencari di dunia Sihir, menggabungkan keduanya, bisa menghasilkan penawar yang tepat kan?"
Profesor Snape menggeleng pelan. "Aku—terlalu tinggi hati—untuk masuk ke dalam dunia Muggle—" sahutnya perlahan, nyaris berbisik. Masih terdiam lagi beberapa saat, sebelum ia mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Hermione yang terluka.
"Kau bisa menyembuhkannya dengan Vulnera Sanatur," Profesor Snape meletakkan telapak tangannya di atas bahu Hermione, dan mulai melantunkan Vulnera Sanatur tiga kali. Mendadak Hermione merasa seperti sebuah botol yang diisi air penuh-penuh, mendadak ia mengerti hakikat Sectumsempra dan Vulnera Sanatur, dan mendadak ia merasa bisa menyembuhkannya.
"Ini tidak bisa diajarkan begitu saja," sahut Profesor Snape pelan, "—kau harus mentransferkannya—"
Hermione mengangguk. Terpesona ia akan pengetahuan baru yang ia dapat. Terpana juga akan kenyataan bahwa Profesor Snape tidak hanya menyembuhkan luka, tetapi sekaligus mentransferkan ilmunya.
"Aku bukannya tidak mencari penawar penyakit itu, Miss Granger," sahutnya pelan, pahit, "—tetapi dalam waktu sekian yang kupunya, hanya sebatas itu yang kudapat. Kuakui, kekuranganku adalah tidak mau melihat kemajuan yang dimiliki Muggle. Aku hanya berkutat di lingkungan Sihir," ia menelan ludah.
"Lagipula—" ucapannya semakin pelan, nyaris tak terdengar jika Hermione tidak memusatkan pendengarannya, "—aku diliputi amarah, dan amarah itu dominan, menguasaiku. Aku jarang memikirkan tentang formula penyembuhan, aku lebih memusatkan diri pada mantra yang membuat orang lain merasakan penderitaan yang sama denganku. Sampai—"
Profesor Snape menghela napas, "—sampai aku tahu bahwa rumusan mantraku dipakai oleh orang lain."
Hermione memiringkan kepalanya, mencoba memikirkan siapa kira-kira yang berani-beraninya memakai formula mantra Profesornya.
"Nagini, kau tahu—"
Hermione mencoba berpikir cepat. Digigit ular, tak mampu membuat darahnya membeku dengan cepat, kehilangan banyak darah dengan cepat—Jadi ini maksudnya menunjuk bagian Venom di Moste Potente Potion?
"Nagini, dibuat Pangeran Kegelapan agar menggigit dengan efek yang sama seperti—Hemofilia," sahut Profesor Snape pelan.
Hermione tiba-tiba mengerti. Mengerti siapa orang yang berani-berani menggunakan formula mantra Profesor Snape. Selain dari Voldemort, siapa lagi yang berani?
"Jadi, waktu Mr Weasley digigit Nagini itu—"
Profesor Snape mengangguk.
"Pangeran Kegelapan melihatku saat aku sedang menyempurnakan Sectumsempra. Aku tak berdaya saat ia memintaku untuk membuat formula untuk bisa ular."
Satu tarikan napas panjang.
"Nagini termasuk jenis ular pembelit. Ia membunuh dengan membelitmu hingga tak bisa bernapas, dan tulang-tulangmu remuk. Tapi Pangeran Kegelapan melengkapinya dengan bisa ini—"
Hermione menahan napas. Dan Profesor Snape justru dibunuh oleh Nagini—
Sebentuk senyum pahit muncul di bibir Profesor Snape. "Ya. Pikiranmu tepat. Itu karma. Aku yang merumuskan formulanya, dan aku yang dipatuknya. Mungkin akibatnya tidak akan fatal seperti itu jika aku bukan penderita hemofilia—"
Hermione menunduk. Tak terbayangkan sebelumnya. Tak terduga.
Hening sejenak. Tapi kemudian,
"Miss Granger—"
Hermione menatapnya dalam.
"Kalau boleh aku minta tolong—"
Hermione menatapnya tak percaya. Profesor Snape meminta tolong? Dalam kehidupannya, beliau tak biasa berbasa-basi, apalagi meminta tolong—
Tapi airmuka Hermione seakan memberi isyarat agar Profesor Snape meneruskan kalimatnya.
"—teruskan cari formula untuk menyembuhkan seseorang yang digigit Nagini. Aku tahu—" Profesor Snape melihat perubahan wajah Hermione, bukankah Nagini sudah mati? "—jika masih saja ada orang yang meneruskan, jika ada orang yang usil meneruskan meneliti tentang transfer penggunaan formula Sectumsempra pada bisa ular—"
Hermione mengangguk pelan. "Kalau tidak salah, Sir, Neville masih menyimpan taring Nagini. Mudah-mudahan saya masih bisa menemukan sedikit contoh bisanya, agar bisa merumuskan formulanya, dan menyusun penawarnya—"
Profesor Snape mengangguk. Airmukanya sudah normal lagi sekarang, sudah tidak dipenuhi dengan amarah seperti tadi, Hermione menyimpulkan. Apakah memang—ada kesulitan dalam berkomunikasi, di antara anak-ayah ini, Severus dan Tobias Snape ini? Karena jika ingin mengemukakan sesuatu, yang keluar justru amarah dan murka?
Hermione tak tahu, dan tak ingin tahu sekarang. Bukan urusannya. Yang penting, pesan sudah tersampaikan—
"—dan, Miss Granger—"
Hermione memandang Profesor Snape lagi, menunggu. Profesor Snape nampaknya kesulitan mengemukakan kalimat yang ini, tapi keluar juga—
"—aku minta maaf, atas semua perlakuanku—"
Hermione menghela napas. Lalu menggeleng. "Tidak perlu, Profesor. Tidak apa."
Profesor Snape berdiri perlahan. Hermione juga berdiri perlahan.
"Jadi—"
"Jadi, kukira ini pertemuan kita yang terakhir. Semoga berhasil—" Profesor Snape nampak sudah akan menghilang, ketika Hermione menahannya.
"—maaf kalau saya lancang, tetapi ayah Anda—"
Profesor Snape menghela napas. "Aku sudah pernah melihatnya. Belum bertemu langsung. Ia seperti—seperti melihat dari kejauhan saja—"
Hermione membayangkan keluarganya sendiri, begitu hangat dan gembira.
"Sir," sahutnya, "—tidakkah Anda bermaksud—"
Profesor Snape mengangguk tanpa menunggu kalimat Hermione selesai. "Aku bermaksud demikian. Aku akan menemuinya sekarang."
Wajahnya masih dingin, namun ada kilatan di matanya, yang biasanya terselimuti kerudung jubah. Hermione tersenyum. Mengulurkan tangan, disambut tangan Profesor Snape.
Tangannya dingin, seperti biasa bagian tubuh bukan manusia.
Tapi terasa hangat di hati.
"Aku akan hadir kalau Ramuan itu sudah kau temukan—"
Hermione mengangguk.
Wujud Profesor Snape perlahan menghilang, sedikit demi sedikit.
Ruangan terang kembali.
-o0o-
Profesor Griselda Marchbanks CDMG, APMO, fdBB selaku wakil dari pengawas NEWT menyerahkan perkamen sertifikat formula Ramuan itu pada Hermione. "Miss Granger, selamat karena kau bisa menyelesaikan formula Ramuan ini dalam usiamu yang masih sangat muda. Kalau boleh aku tahu, Ramuan itu akan kau beri nama apa?"
Tegas, Hermione menjawab, "Ramuan Snape, Ma'am!"
Profesor Marchbanks mengerutkan kening. "Apakah ini ada hubungannya dengan Profesor Severus Snape?"
Mantap Hermione mengangguk. "Ya, Ma'am. Dari beliaulah saya memperoleh inspirasi untuk menyusun formula ini, kehidupan beliau juga yang menyemangati saya untuk terus mencoba dalam kegagalan-demi-kegagalan. Selain itu," Hermione menegaskan, "Ramuan ini juga saya dedikasikan pada ayah beliau—"
"Tobias Snape?"
Hermione mengangguk tegas.
Profesor Marchbanks mengangguk mafhum. "Dengan prestasi secemerlang ini, kami para pengawas dalam ujian NEWT, memutuskan bahwa Miss Hermione Granger tidak perlu mengikuti ujian NEWT Ramuan, dan langsung lulus dalam matapelajaran itu dengan yudisium O."
Tepuk tangan membahana dalam ruangan itu. Ada beberapa rekannya, seperti Harry, Ron, Neville, Ginny, Luna, lalu semua guru Hogwarts—termasuk Hagrid—hadir, belum lagi semua lukisan almarhum Kepala Sekolah hadir bersesakan di sebuah pigura di ruangan itu. Dua orang Muggle yang ikut hadir adalah Mr dan Mrs Granger
"Terima kasih, Ma'am," sahut Hermione, suaranya mendadak tercekat. Matanya berkaca-kaca. Kepalanya memutar berkeliling, mencari. Tapi wujud itu tak ada. Setidaknya tidak terasa kehadirannya oleh Hermione.
Sampai acara selesai, sampai semua hadirin memberi selamat atas keberhasilan Hermione menemukan sebuah Ramuan baru, Hermione tidak menemukan sosok itu.
Hadirin sudah bubar. Mr dan Mrs Granger sudah kembali ke Heathrow. Tinggal Harry dan Ron.
"Kau mencari sosoknya?" Harry mengerti, siapa yang dicari Hermione. Walau hanya berwujud makhluk gaib.
Hermione mengangguk. "Sayang, perjuanganmu untuk memasang lukisannya di Kantor Kepala Sekolah belum berhasil. Kalau sudah, tentu ia bisa menyaksikan juga bersama para mendiang Kepala Sekolah yang lain—"
Harry mengangguk. "Jangan takut. Aku akan terus mengusahakan, Hermione. Walau apapun rintangannya."
Dan mereka bertiga bergandengan meninggalkan ruangan.
Sepasang mata hitam gelap menyaksikan mereka dari ujung ruangan. Dengan wujud hitam, gelap yang bahkan lebih pekat dari gelapnya sudut malam. Tapi sosok gelap itu tersenyum.
-o0o-
Malam hari.
"Sectumsempra~"
Dalam keheningan malam, suara sekecil apapun akan terdengar. Juga suara darah menetes. Suara seorang perempuan terengah.
Menyusul alunan Vulnera Sanatur berulang beberapa kali, sambil terengah. Suara perempuan terengah tadi perlahan berhenti.
Suara anak kunci berputar. Siluet seorang perempuan dengan rambut bergelombang keluar dari kamar mandi perempuan di Hogwarts itu.
Sisa-sisa senyum masih tergambar di wajahnya.
FIN
Read More >>